Senin, 04 Juli 2011

LASKAR PELANGI, Sebuah Fenomena atau Rekayasa?

Laskar Pelangi merupakan buku pertama dari Tetralogi Laskar Pelangi. Buku berikutnya adalah sang pemimpi, Edensor dan Maryamah Karpov. Buku ini tercatat sebagai buku sastra Indonesia terlaris sepanjang sejarah.

Apa hebatnya buku ini?.

Bila kita sandingkan dengan masterpierce buah karya Pramoedya Ananta Toer, Tetralogi BUMI MANUSIA dan RONGGENG DUKUH PARUK karya Ahmad Tohari, sudah barang tentu buku laskar pelangi hanya menjadi "anak bawang" dalam dunia sastra Indonesia. Miris bila melihat angka penjualan BUMI MANUSIA dan RONGGENG DUKUH PARUK yang kalah jauh bila dibandingkan dengan Laskar Pelangi, bahkan dengan buku novel remaja populer yang renyah tak berbobot bagai makanan ringan kemasaan, ia masih kalah jauh. 
kenapa? ini pertanyaan..... 

Melihat fenomena larisnya novel Laskar Pelangi yang katanya buku satra Indonesia paling laris ini, saya jadi ingat dengan seorang tokoh psikologi dalam bidang markerting yang masih 'anak angkat" dari Bapak psikoanalisis, Sigmund Freud. PROPAGANDA MEDIA ala EDWARD BERNAYS. Edward Bernays adalah seorang pionir dalam bidang Hubungan Masyarakat (HUMAS) yang lahir pada tahun 1891 dari keluarga Yahudi. Namanya sangat termasyhur dalam bidang manipulasi pikiran manusia lewat jalan media dan menjadi rujukan para manipulator di seluruh dunia.( eramuslim.com) 

Buah pemikiran seorang Yahudi bernama Edward Bernays menjadi kitab rujukan utama dalam memasarkan produk, lihai mengemas "tahi kucing" hingga seseorang mau membelinya atas nama tren. Filosofinya memang tidak sepele: "Ketika produk kesesatan ditampilkan terus menerus ia bisa menjadi kebenaran. Ketika opini umum sudah sama, maka disitulah kebenaran dan kebathilan menjadi kabur untuk didefinisikan."

Pada awal tahun 2008, bertepatan dengan launching film Ayat-Ayat Cinta (AAC) pada Maret 2008, disanalah dimulai pemasaran buku Laskar Pelangi. Dengan meminjam kekuatan media, invisible hands sepertinya bermain dalam me-marketing novel ini.

Menurut Dr Minako Sakai, seorang pengajar senior berkebangsaan Jepang di Indonesian Studies, School of Humanities and Social Sciences, The University of New South Wales (UNSW), Australia saat mendampingi Habiburahman el Shirazy dalam bedah novel CINTA SUCI ZAHRANA, ia mengungkapkan bahwa ada transformasi sosial di masyarakat terutama di Indonesia, dulu ketika ia datang ke Indonesia untuk pertama kalinya pada tahun 1980, disaat itu tidak ia temukan para wanita Indonesia berjilbab, sekarang sudah berjilbab. Ketika ditanya apakah ini karena pengaruh sastra Islam yang hadir pada awal pertengahan tahun 90-an? Mina, begitu ia biasa disapa menjawab, "bisa iya bisa tidak, akan tetapi media yang paling berpengaruh." 

Hal senada juga diungkapkan oleh Intan Savitri saat Upgrading FLP Wilayah Jawa Tengah di Tegal, 7-8 Mei 2011. Perempuan yang merupakan General Manajer di penerbit Balai Pustaka ini mengatakan, "karena film Ayat-Ayat Cinta, para ibu-ibu sekarang sudah percaya diri ke pesta kondangan dengan memakai jilbab." Mbak Intan juga menambahkan, "oleh karena booming novel Laskar Pelangi, jenre sastra di Indonesia berubah mengikuti tren yang dibawa novel tersebut". jadi beliau menghimbau kepada anggota FLP untuk menuliskan Islam sebagai nilai-nilai Islam yang universal, tidak seperti beberapa tahun yang lalu dimana Sastra Islam selalu memuat nilai-nilai al-qur'an dan Jilbab yang kental. 

Dan "meledaknya" novel Laskar Pelangi ini dipasaran hingga wikipedia menuliskan bahwa novel karya Andrea Hirata ini sebagai buku sastra Indonesia yang paling laris sepanjang sejarah. Ini karena disokong oleh media yang "bersahabat", dimana semua media cetak maupun elektronik seperti mempunyai keharusan untuk memberitakan novel ini dan berbagai talk show digelar. 

Dari beberapa penjelasan dan fakta diatas, bisa ditarik kesimpulan sementara bahwa ada kekuatan media yang besar dibelakang novel Laskar Pelangi, dan ini yang berandil besar dalam menggulirkan novel ini ke masyarakat. Mungkin karena novel ini memang bagus? ya, memang ada kemungkinan kesana, tetapi saya punya pendapat pribadi. selama saya membaca novel Laskar Pelangi, saya tidak berhasil menemukan dimana bagusnya novel ini. Apa nilai sastra yang menjadi content novel karya Andrea Hirata ini? 

Pendapat yang sama diungkapkan oleh teman saya yang kebetulan ia juga pernah diminta membedah buku ini di acara Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro. Ia sependapat dengan saya, “itu karena marketingnya yang gencar bukan karena novel ini bagus”. Pendapat ini diperkuat oleh pak JONRU saat diundang FLP Semarang pada awal tahun 2010. Mungkin banyak lagi sastrawan yang sependapat dengan ini, tetapi karena memang sudah menjadi opini publik bahwa novel ini bagus, ya jika mereka bertanya tentu mereka akan mengeluarkan "kartu aman". 

fakta yang terkait Tetralogi Laskar Pelangi: 

ANGKA PENJUALAN DARI NOVEL INI MENCAPAI ANGKA FANTASTIS HANYA SAMPAI NOVEL KEDUA, SANG PEMIMPI. NOVEL KETIGA, EDENSOR MENGALAMI PENURUNAN DAN HANCUR DI NOVEL KEEMPAT, MARYAMAH KARPOV. 

Ada beberapa yang harus direnungkan: 

1. Jika memang novel ini bagus sudah barang tentu sampai buku keempat ia masih punya "nafas" yang cukup untuk bergeliat seperti dibuku pertama atau bahkan lebih booming lagi dari seri pendahulunya walau tidak didukung oleh dana marketing seperti di novel pertama. Disini kualitas sastra dari Tetralogi Laskar pelangi dipertanyakan? 

Berarti inilah yang dimaksud Edward Bernays dengan propaganda medianya. 
"Ketika produk kesesatan ditampilkan terus menerus ia bisa menjadi kebenaran. Ketika opini umum sudah sama, maka disitulah kebenaran dan kebathilan menjadi kabur untuk didefinisikan." 

2. Apa motif sebenarnya dari boomingnya laskar pelangi. 
Apakah motifnya murni hanya faktor ekonomi?
..... 
Jika ini faktor ekonomi yang berbicara, mengapa promosi novel kedua sampai terakhir tidak segencar yang pertama? Jika beralasan tidak ada dana, Apakah pihak penerbit menjadi miskin oleh karena booming novel pertama dan kedua? Kemana media cetak dan elektronik yang selama ini men-support LP hilang begitu saja?

Efek yang terasa dalam dunia sastra dan sosial akibat meledaknya novel Laskar pelangi ini adalah berubahnya tren sastra sekarang ini. Laskar Pelangi seperti dijadikan "amunisi" untuk mengalihkan isu, agar sorot mata masyarakat beralih dari sastra Islam yang kental dengan nilai-nilai agung la-qur'an menjadi sastra Islam yang bernilai universal. 

Dan ketika tujuan "mereka" telah tercapai, "invisible hand" yang tadinya bermain itu angkat kaki dari Tetralogi Laskar Pelangi sehingga penjualan novel ini jadi jeblok. Jika ini tidak "mereka" lakukan, akan ada tranformasi sosial di Masyarakat Indonesia yang mereka khawatirkan, berarti benar kata Dr Minako Sakai dan Mbak Intan Savitri. 


Read More......