Sabtu, 31 Maret 2012

ISLAM MENCINTAI PERANG BUKAN CINTA DAMAI?

Islam mendefiniskan perang adalah ekspansi tidak kenal batas wilayah geografi yang menghambat dakwah Islam melalui jihad (perang) fisabilillah menegakkan kalimat “La illaha illallah” di bumi Allah. Dijaman kejayaan kekhalifahan Islam tidak dikenal dualisme antara perang dan damai, dengan kata lain kata damai tidak ada dalam kamus kaum muslimin, hanya satu azaz yaitu perang. Damai hanya istilah sempit untuk mengungkapkan suatu keadaan sebelum atau sesudah perang.
Pada zaman Khalifah Umar bin Khaththab, beliau Ra melakukan revolusi demografi, yaitu pemisahan antara sipil dan militer. Tentara muslim yang masuk militer digaji baitul maal, tapi ada juga tentara dari sipil yang ikut berperang untuk menggugurkan kewajibannya atas Jihad. Pemisahan ini tidak ada dijaman sebelumnya, bahkan dimasa Rasulullah SAW masih diberlakukan sipil bisa dikondisikan menjadi militer dan militer adalah sipil. Sejalan dengan sirah sahabat, alkisah Abdurrahman bin Auf hanya bisa ditemui di tiga tempat yaitu di masjid, di pasar dan di medan perang. Dan perang dijaman Rasulullah SAW dibiayai oleh beberapa orang sahabat Ra.
Suatu ketika dimasa pemerintahannya, Umar bin Khaththab bertanya kepada putrinya sekaligus istri Rasulullah SAW, Hafsah binti Umar. “Berapa lama batas seorang istri menahan rindu menanti suaminya?” dan dijawab Hafsah, “empat bulan”. Berdasrkan pendapat Ummul Mukninin itulah, Umar melakukan rotasi pasukan, setiap tiga bulan sekali tentara Allah itu dipulangkan untuk bertemu keluarganya, kemudian memakai kembali seragam militernya ketika panggian jihad datang kepadanya. Lain halnya dengan tentara yang berasal dari kalangan Sipil, setelah tunai kewajibanya berjihad, mereka kembali menjadi warga sipil biasa, melanjutkan profesi semula.
Berdasarkan penjelasan diatas, sesungguhnya tidak ada masa damai didalam sejarah Islam. Kaum muslimin selalu berperang melawan ketidakadilan dimuka bumi ini.

Read More......

PERANG

Perang adalah instrument politik. Perang juga tidak bisa dilepaskan dari asas hidup manusia. Insting makhluk yang bernyawa adalah bertahan hidup dan menjaga eksistensinya, keduanya dekat dengan yang namanya perang.
Pada zaman patriarki, ada tiga romantika penyulut bara peperangan antar kaum, harta, tahta dan wanita. Harta dan tahta adalah tujuan dari nafsu manusia untuk hidup, begitu pula dengan wanita .
Jadi perang bukan saja instrument politik tetapi murni sebagai instrument diri sebagai manusia. Dalam kajian syariah, perang (jihad) adalah wajib hukumnya bagi setiap muslim, dan itu jihad perang selalu diikuti oleh jihad harta.
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS AL BAQARAH:216)
Perang tidaklah buruk, perang tidak bisa dicap sebagai kejahatan yang kejam, karena perang hanyalah instrument (alat) dan alat itu ibarat pedang yang bergantung pada siapa yang menghunuskannya, mau dipakai membunuh musuh atau mengiris bawang. Jika perang dikatakan busuk, yang busuk adalah manusia yang menjalankannya, demikian sebaliknya. Sama halnya dengan politik, banyak orang bilang politik itu kotor, tetapi tidak demikian kita mendudukan dikotomi antara perang dan politik. Bila politik itu kotor, mereka yang kotor adalah orang-orang yang berpolitik, sedangkan politik sebagai alat tidak semudah itu dinodai hingga merubah makna, maksud dan tujuan dari politik.
Paradigma negatif tentang perang kita dapatkan dari stigma barat. Kita menilai perang karena berkaca pada sejarah peperangan bar-bar dan tidak berprikemanusiaan yang pelakunya adalah Negara-negara barat. Perang Nafoleon, perang dunia I, Perang Dunia II, Perang Vietnam, semuanya memakan korban jiwa yang luar biasa banyak, mereka memberikan terror kepada warga sipil. Bukan hanya itu, salah satu efek pascaperang yang dilancarkan barat adalah kemiskinan, kelaparan dan hutang besar yang harus ditanggung oleh Negara-negara yang bertikai bahkan negara sekitarnya juga tak luput kena imbasnya.
Seharusnya kita membuka kembali sejarah perang yang dilakukan kaum muslimin, sejarah perang yang dilakukan Rasulullah SAW dan para sahabat. Pada zaman sepuluh tahun kekuasan Khalifah Umar bin Khaththab Ra terjadi perang besar yang berkepanjangan sampai masa Khalifah Usman bin Affan Ra. Pasukan muslim saat itu menguasai sepertiga dari dunia, kekaisaran Romawi Timur, Bizantium hancur dan Persia berhasil direbut. Apakah Kekhalifahan Umar bin Khaththab menanggung hutang besar akibat perang?  Apakah masyarakat ketika itu hidup menderita akibat ekspansi pasukan muslim? Sejarah tidak mencatat adanya "bencana" di negeri-negeri yang telah dibebaskan oleh para mujahidin tersebut, bahkan itu menjadi rahmah bagi mereka karena lepas dari kekejaman penjajahan negara-negara adidaya ketika itu. 
Dan satu hal yang mencengangkan bahwa Khulafaur Rasyidin kedua itu tidak meninggalkan hutang sedikitpun ketika menyerahkan tampuk kekuasaan ke Usman bin Affan menggantikan dirinya menjadi Amirul Mukminin, kita tahu bahwa perang pasti menguras biasa yang luar biasa besarnya.
Lain halnya dengan Amerika dan sekutu dalam perang Afghanistan dan Iraq (2001 - ?). sepuluh tahun berperang, Amerika Serikat menanggung hutang yang besar dan Negara sekutunya di Eropa terkena krisis ekonomi, demikian pula dengan Negara yang diserang, mereka menderita kerugian moril dan materiil.
Inilah perbedaan perang muslim dan kafir. Apakah kita tetap menilai perang dari kacamata barat?

Read More......

TUMPAS KELOR

Tumpas kelor adalah peristiwa muhibah melebihi bencana alam, termasuk kejahatan perang luar bisa. Genosida masal yang tercatat dalam sejarah Nusanatara, Majapahit menmggunakan tangan besi untuk menumpas habis Mahapatih Nambi beserta pengikutnya di Lamajang.
Diceritakan panjang lebar di Kidung Sorandaka dan disinggung juga di Serat Pararaton dan Kitab Negarakertagama. Bahwa Nambi mengambil cuti panjang karena Ayahnya, Pranaraja sakit lalu meninggal dunia pada tahun 1316 M. Nambi masih berduka, kemudian datanglah Ramapati menjenguk. Ia menyarankan kepada Nambi untuk memperpanjang cutinya, dan ia akan kembali ke Kutharaja Majapahit untuk menyampaikan permohonan ijin Nambi ke Sang Prabu Majapahit, ketika itu dijabat oleh Jayanagara.
Dengan liciknya Ramapati menyampaikan fitnah bahwa Nambi telah mempersiapkan pemberontakan. Jayanagara menelan mentah-mentah informasi dari Ramapati dan memimpin sendiri pasukan Majapahit untuk menumpas Nambi. Pararaton mengisahkan Nambi mati di benteng pertahanannya di Rabut Buhayang, karena dikeroyok Jabung Terewes, Lembu Peteng dan Ikal-Ikalan Bang dan Kerajaan Lumajang ditumpas habis beserta Arya Wiraraja selaku penguasa daerah timur. Genangan darah tumpah ruah ditimur jawa, kerajaan Lumajang dibumihanguskan tanpa petilasan. Inilah tumpas kelor.
Tidak ada yang tersisa dari keluarga Nambi, sanak keluarganya dibantai bahkan Arya Wiraraja juga ikut ditumpas habis tidak tersisa, inilah kejahatan perang Majapahit terhadap pengikut setianya, terhadap para founding father kerajaan. Nambi, Arya Wiraraja, Lembu Sora dan Ranggalawe adalah orang-orang yang berjasa menegakkan Kerajaan Majapahit diatas reruntuhan kerajaan Singasari, mati mengenaskan atas nama pemberontak. Tragis!
Indonesia, Negara yang dibangun dengan berpijak pada Kerajaan Majapahit, dikutuk untuk mengulang sejarah kelam Majapahit. Tumpas Kelor dilakukan Indonesia untuk menumpas PKI sampai akar-akarnya, semua individu yang mempunyai hubungan dengan Komunis ditumpas habis, tiga juta jiwa rakyat Indonesia harus jadi korban sejarah. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1966, dua puluh tahun setelah Indonesia merdeka (1945-1966), persis sama dengan Tumpas Kelor keluarga Nambi di era Majapahit, dua puluh tiga tahun setelah Majapahit berdiri (1293-1316).
Jika pemberontakan DI/TII Kartosoewiryo, tiga tahun dari Indonesia merdeka (1945-1948) adalah cerminan dari pemberontakkan Ranggalawe, dua tahun dari Majapahit berdiri (1293-1295) dan diikuti oleh pemberontakan-pemerontakan lainnya, seperti PRRI/Permesta, Pemberontakan APRA, dan lain-lain. Pada masa jaya Indonesia hingga menjadi macan Asia pada Jaman orde baru saat Presiden Soeharto berkuasa sejalan dengan masa kepemimpinan Hayam Wuruk.
Kini Indonesia berada pada masa “Perang Paregreg”, Era Reformasi Indonesia semakin kacau dengan permasalahan hukum, ekonomi, korupsi dan keadilan, persis seperti kacaunya pemerintahan Majapahit akibat perang saudara berkepanjangan.
Akankah datang masa sadyakalaning Indonesia? Sejarah Majapahit sudah melaluinya pada masa sirna ilang kerta ning bumi.

Read More......

Selasa, 20 Maret 2012

CATATAN PERJALANAN MENUJU SELO, LERENG GUNUNG MERBABU DAN MERAPI

Malam minggu ini, Sabtu 17 maret 2012 kuhabiskan dengan mengunjungi Selo, Boyolali. Daerah kecamatan yang ada dikabupaten yang terkenal akan susu sapinya itu terletak diketinggian 1500 mdpl, Desa Sampiran tempatku bermalam itu ada diradius 3 km dari puncak Merapi dan daerah ini masuk kawasan ring satu
Perjalanan ini sungguh tidak ada dalam rencanaku ketika mengunjungi Desa Semowo untuk menyerahkan gambar DED, detail engineering design pembangunan gedung paud Al-Ittihad Desa Semowo, desa tempat kuliah kerja nyataku sebulan yang lalu. Berangkat dari Semarang sehabis zhhur, sampai disana pukul 14.20 WIB memang memakan waktu lama karena ada macet panjang saat melaju di Karang Jati. Baru istirahat sebentar di Pondok Pesantren datang tawaran dari Pak Imam selaku kepala yayasan, beliau akan mengunjungi Desa Selo dalam rangka menghadiri undangan wali santri diacara Ruwatan, bersih desa di bulan Bakda Mulud. Langsung saja kuiyakan tawaran itu, ia begitu detail mendeskripsikan Desa Selo dengan landscape-nya yang menawan, terletak diantara Gunung Merbabu dan Gunung Merapi, terbayang diimajinasiku akan mendapat pengalaman baru, mengunjungi tempat baru dengan pesona alamnya yang mengagumkan.
Selo dalam bahaa jawa berarti antara, senggang. Desa itu adalah kawasan pertanian sayur-sayuran, kubis, tomat, cabe, wortel dan varietas andalan petani disana adalah tembakau. Sesampainya disana kurasakan dingin kaku, setelah melalui jalan mendaki dari belok ke barat Pasar Ampel, Boyolali itu terus naik keatas, kemudian melalui jalan berkelok berliku, dikiri jurang dikanan tebing. Sepanjang perjalan mataku dimanjakan oleh kabut putih tipis ala pegunungan, tetapi sesuatu yang mengganjal itu timbul ketika motor Supra yang kutumpangi melewati sungai-sungai kering. Gila, ini daerah resapan hujan tetapi sungai tidak ada airnya.
 Kami berdua disambut dengan senyum oleh penduduk desa yang ramah-ramah, eh ternyata salah alamat. Kata tuan rumah, rumah wali santri yang dimaksud tempatnya ada dibawah. Lanjut kami mengunjungi rumah kedua persis dibawah lerang disamping rumah pertama tadi, lagi lagi kami salah lagi,  tetapi warga dengan sopannya tetap ramah menyambut kami dan mempersilahkan masuk, sebenarnya agak sungkan juga jika tidak bertamu, sudah dipersilahkan. Karena hari sudah mulai gelap dan waktu menjelang maghrib kami mohon ijin untuk melanjutkan perjalanan ke rumah santri itu karena itu adalah prioritas kami. Persis disamping rumah itu adalah rumah yang kami maksud.
Acara Ruwatan, para warga tampak saling berkunjung satu sama lain. Ketika kami datang, Pak Imam disambut dengan panggilan Kyai Gede, maklum beliau putra dari alm. Kyai pengasuh Pondok Pesantren Al-Ittihad yang terkenal. Masuk kami disana, sudah ada beberapa tamu yang nampak sedang berbincang-bincang ringan, ternyata kami bukanlah tamu satu-satunya. Ada seorang anak kecil dirumah itu, sepertinya ia kelas V SD menurutku. Ia lalu lalang didepanku menghidangkan segelas air teh panas. Tamu lalu lang keluar masuk dengan intensitas yang cukup tinggi. “Tidak lelah kau dik?” begitu tanyaku yang iba, kelelahan nampak diwajah dan keringatnya waktu itu. Pak Imam seperti sudah bisa berbaur dengan siapa saja, bisa mengorol dengan mudah. Obrolan mereka tidak jauh-jauh dan hanya berkutat pada masalah pertanian, aku tidak bisa masuk untuk nimbrung kedalam obrolan mereka. Lain halnya jika membicarakan tentang kenaikan BBM mungkin saya bisa jadi provokator mereka untuk menolak kenaikan harga BBM, heheehhe.
Lepas dari satu rumah itu, berlanjur ke kunjungan ke tempat lain. begitu seterusnya, sampai Pak Imam dijemput teman seperjuangannya ketika nyantri di Pondok Pesantren Nganjuk. Rencana mereka akan reuni, kami berpindah dari kaki Gunung Merbabu menuju Desa Sampiran di kaki Gunung Merapi.
Disana, kukira ada acara konferensi atau talkshow, tetapi talkshow apa yang diadakan di Gunung dengan udara sedingin ini? begini saja badanku terasa beku menahan dinginnya malam, angin bertiup kencang. Ternyata yang kukira talkshow tadi adalah program bincang-bincang radio MMC, Merapi Merbabu Community, teman Pak Imam yang akan kami temui ini adalah pengelola radio tersebut sekaligus ketua umum Radio Komunitas Indonesia. Pak Siman namanya, sudah lima tahun lebih mereka tidak berjumpa lagi ketika dulu bersama dalam mengadvokasi penolakan warga untuk dalam proyek hutan konservasi di kawasan Kecamatan Selo. Peristiwa itu berlangsung pada tahun 2002 saat Megawati selaku Presiden RI mencanangkan program tersebut, sebenarnya itu program itu bagus untuk menjaga kelangsungan ekologi, tetapi....
Asyik mendengarkan orang siaran di studio, saya sambi membaca bulletin yang dikeluarkan LSM International “Landcare” yang berkonsentrasi memberikan penyuluhan konservasi air dan lahan pertanian. Buletin ini disupport oleh Kedutaan Besar Finlandia selaku funder. Kemudian tanpa diduga datanglah Margono atau Gogon, sudah sembilan tahun Pak Imam tidak lagi ketemu beliau yang dulunya intens berkomunikasi lewat LSM yang menyuarakan kepenolakan ahli fungsi lahan pertanian menjadi hutan lindung dan hutan konservasi, proyek itu sarat kepentingan kapitalis.
Sungguh perasaan yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata, raut wajah ketiganya begitu cerah. Pertemuaan yang tidak terduga dan siapa yang menyangkan malam minggu yang dingin in akan menjadi reuni ketiga aktivis itu. merasa butuh ruang yang memadai untuk menumpahkan isi kepala, kami mengungsi ke rumah joglo dibelakang studion, itu adalah rumah orangtua Siman, sedangkan ia punya rumah di Solo bersama istri dan anak-anaknya. Keruan saja, bertahun-tahun tidak berkumpul mereka berdiskusi panjang membahas apa saja, mulai dari mengenang saat-saat ketika mereka bersama, berdiskusi masalah politik dan juga agama. Kini aku bisa nimbrung, setidaknya aku bisa mengimbangi karena politik dan agama adalah sesutu yang tidak terpisahkan bagiku. Mereka berdiskusi sampai larut malam, sedangkan aku pasif menjadi pendengar yang baik, kalau saja ada yang kurang berkenan aku segera mengemukakan pendapatku. Setelah larut malam, ada makanan terhidang, dan kami makan, kemudian setelah selesai aku beranjak tidur. Sementara mereka, aku tidak tahu lagi mereka... aku terlelap.
Dipagi hari, udara terasa dingin luar biasa. mengambil air wudhu saja terasa beku, air kusentuh terasa salju. Sungguh indah pemandangan ketika itu, menatap puncak Merapi dan Merbabu dipagi hari. Sayang angin masih saja bertiup kencang seperti semalam, jadi dingin aku tak tahan berlama-lama berdiri menikmati alam di pekarangan masjid. aku kembali untuk berkemul.

Read More......

GELIAT EKONOMI SAAT PERAYAAN RUWATAN DI KAKI GUNUNG MERBABU

Ruwatan adalah tradisi dimasyarakat Selo, Boyolali. Sebuah tradisi unik masyarakat yang menghuni lereng antara Gunung Merbabu dan Gunung Merapi ini mengadakannya sebagai even tahunan. Bersih desa, ada beberapa masyarakat yang menyebutnya demikian. Ada dua lagi acara serupa yaitu Lebaran dan Saparan.  Ketiga acara ini digelar dibulan-bulan kalender islam, acara Saparan diadakan dibulan Safar, Lebaran pada awal bulan Syawal dan Ruwatan diadakan baru-baru ini yaitu pada bulan Rabiul Akhir. Bakda Mulud, begitu orang-orang lokal biasa menyebutnya.
Acara Ruwatan hampir sama seperti perayaan dihari raya Idul Fitri, setiap keluarga menyediakan hidangan untuk menjamu ramu. Waktu-waktu yang diambil dalam acara Ruwatan ini setelah selesai masa tanam tinggal menunggu masa panen tiba. Dalam rangka mengisi waktu senggang para petani, diadakanlah acara tersebut. 
Para tamu bukan saja datang dari luar desa saja bahkan sampai luar kota, sanak family yang jauh mereka undang untuk merayakan bersama, tidak heran jika banyak mobil dan motor dengan nomor polisi  luar kota berseliweran di jalan-jalan disekitar lerang gunung. Seperti halnya lebaran, kita bertamu kemudian bersalaman saling maaf-memaafkan, bercengkerama sambil menikmati hidangan. Acara ini pun berlangsung seperti itu, tetamu yang datang disambut tuan rumah dengan ramah, disajikan berbagai macam penganan khas lalu sambil mencicipi diselingi dengan obrolan-obrolan ringan terkait pertanian, mulai dari varietas pertanian yang sedang prospek untuk ditanam, bahkan sampai jual beli mobil menjadi perbicaraan yang umum.
Para tetamu yang berkunjung biasanya tidaklah lama, sekitar 10-20 menit sudah cukup kemudian mohon pamit untuk melanjutkan kunjungan ke tetangga lain. Satu hal yang unik, tetamu harus dan wajib makan (nasi) yang juga sudah terhidang di tempat terpisah. Para tamu biasanya makan sekedarnya barang 2-3 sendok sebagai syarat, tidak sampai kenyang karena akan melakukan hal itu lagi ketika berkunjung ke tempat lain.
Bila ditinjau dari kacamata ekonomi, acara-acara seperti ini pasti akan menggerakkan perekonomian dikawasan tersebut terutama disektor riil. Perputaran uang disana bisa mencapai angka milyaran rupiah. Setiap keluarga rata-rata membelanjakan uang Rp 2.000.000,- s/d Rp 5.000.000,- untuk menghidangkan jamuan. Ada berapa kepala keluarga dalam satu kecamatan Selo? Ketika dan menjelang perayaan otomatis akan ada perpindahan manusia, bisa dihitung perputaran uang dalam dalam arus transfortasi saat terjadi kegiatan ekonomi didalamnya?
Kegiatan semacam ini, acara swasembada warga desa hanya dapat ditemui dikomunitas masyarakat tani. Orang kota atau orang kantoran yang super sibuk tidak akan waktu luang untuk melakukannya. Entah siapa yang pertama kali menggagas acara seperti ini? Entah apa dan bagaimana tujuan semula dari diadakannya acara seperti ini? itu tidaklah penting, hal yang substansi ini adalah cara pemerintah (dulu) untuk menggerakkan ekonomi mikro dikalangan masyarakat tani. Pada saat musim panen, jika tidak ada perayaan Ruwatan, hasil panen akan masuk lumbung atau disimpan dalam bentuk uang. Jika dua hal diatas terjadi, inflasi akan meningkat karena perputaran uang berjalan lamban. Oleh karena itu, dikemaslah kegiatan ekonomi tersebut dalam bentuk budaya, salah satunya  ya acara Ruwatan di Selo ini.
Pada zaman kerajaan dahulu, banyak diadakan acara-acara besar untuk menghibur masyarakat seperti acara peringatan hari besar Islam, peringatan Maulid Nabi SAW dan lain sebagainya yang kesemuanya itu untuk menarik warga berpergian ke alun-alun atau ke pusat kerajaan, dengan adanya perpindahan manusia selalu diiringi oleh kegiatan ekonomi, seperti transaksi dalam bentuk jasa, jual beli dan rekreasi. Acara-acara itu serupa bukan saja ada dipusat kerajaan saja bahkan dikalangan rakyat jelata juga dilakukan, seperti prosesi pernikahan, sunatan, peringatan kematian dan sedekah bumi dilakukan dengan meriah sampai menyedot banyak sumber daya.
Panglima besar Islam, Shalahuddin Al-Ayyubi adalah penggagas pertama peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW sesaat sebelum menyerang Yerusalem untuk merebutnya dari pasukan musuh dalam perang Salib (1099-1187 M). Salah satu alasannya mungkin untuk menggerakkan ekonomi, agar uang segera berputar cepat dan Negara (Kekhilafahan Abbasyah) dapat memungut zakat lebih banyak untuk mengisi kas baitul mal. Perang memerlukan dana yang tidak sedikit.

Read More......

RENCANA LIBERALISASI AIR DAN SUMBER DAYA MINERAL DI SELO

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33, Ayat 3 menyatakan,
“Bumi, air dan kekayaan alam yang mengandung di dalamnya dikuasai Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakya”.
Salah satu “prestasi” pemerintahan Presiden Megawati dalam kurun waktu 2001-2004 adalah lepasnya beberapa aset strategis milik Negara.
Wilayah Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali yang  terletak di lereng Gunung Merbabu dan Merapi menjadi salah satu yang menjadi proyek “dagangan” Ibu Mega. Tujuan  dari program ini adalah konservasi lahan menjadi hutan lindung dan hutan konservasi. Daerah dengan ketinggian diatas 1300 mdpl akan dijadikan kawasan hutan lindung dan daerah dibawahnya akan dialokasikan untuk daerah  hutan konservasi dan lahan pertanian.
Pada dasarnya program ini baik, dan juga program konservasi ini didukung oleh lembaga pendidikan sekelas Universitas Gajah Mada (UGM) yang akan membuka kajian tentang kehutanan jika proyek ini berjalan. Ekologi didaerah antara (selo) lereng Gunung Merpai dan Merbabu kondisinya sangat memperihatinkan, meski daerah ini adalah daerah tangkapan hujan dan daerah aliran sungai (DAS) tetapi mayoritas sungai disana mati, tidak ada air yang mengaliri. Beberapa LSM lokal maupun asing yang bergerak dalam bidang lingkungan hidup juga banyak melakukan kajian dan sosialasi ke masyarakat untuk mengubah pola pertanian mereka ke pertanian konservasi, salah satu adalah Landcare. Tetapi, pemerintah seperti otoriter dalam hal ini, program sosialisasi belum dilaksanankan mereka sudah menggagas ide untuk relokasi sekian ratus kepala keluarga untuk mengosongkan kawasan.
Timbul berbagai gejolak penolakan dimasyarakat, bukan karena program ini tidak baik atau merugikan kaum tani yang terpaksa harus menempati lahan baru dan memulai hidup baru disana tetapi ada pihak ketiga yang campur tangan dan ikut menopang dana demi keberlangsungan proyek ini.
Danone, Perusahaan multinasional ini ikut bermain agar proyek ini berjalan. Setelah menguasai sumber air di Klaten lewat aqua-nya, Perusahaan Yahudi yang berkantor pusat di Prancis ini rencananya sudah “memesan kue” kepada pemerintah agar mereka bisa memonopoli pengelolaan  sumber air dan mineral yang terkandung didalamnya. Daerah lereng gunung berapi adalah daerah yang kaya akan sumber mineral dan airnya juga lebih segar karena proses penyaringan alami oleh bebatuan. Jelas ini pelanggaran UUD 1945.
Pada akhirnya proyek ini tertunda dan sampai Megawati lengser proyek ini belum berjalan, masyarakat tegas menolak segala bentuk kapitalisasi dalam bentuk kepenguasaan asing di sektor sumber daya alam. Ini tidak lebih dari penjajahan.
Heran, memang benar-benar heran. PDIP, partai tempat Megawati bernaung, partai yang sering berkoar-koar menggelorakan pemikiran Soekarno, mereka berideologi kekiri-kirian katanya, tetapi pada hasilnya sama saja, terjebak dalam arus liberalisasi. “Jualan” BUMN menjadi andalan pemerintahannya. Miris, jika Bapaknya sebagai Founding Father negeri ini hidup kembali dan melihat ulang anaknya mungkin ia akan malu telah membesarkannya.
Masih segar diingatakan kita perkataan Presiden Soekarno, “tiga ratus lima puluh tahu kita dijajah oleh bangsa asing, tidak akan kita serahkan lagi kekayaan negari a ini kepada asing, jika kita belum bisa mengelola biarkan itu tetap terkubur, nanti anak cucu kita yang akan mengelolanya.”
Jika ada partai politik yang jualan Ideologi dewasa ini, sesungguhnya itu omong kosong belaka. Pancasila itu sudah tidak laku lagi sebagai Ideologi Negara. Dijaman orde baru Pancasila dijadikan alat penguasa untuk menekan lawan politiknya

Read More......