Senin, 30 April 2012

SASTRA DIATAS REALITA

Bila membaca sastra jaman pergerakan dari angkatan balai pustaka hingga anggkatan pujangga Baru kita akan menemukan model percintaan yang lain dan bertolak belakang realita sekarang. Sebuah potret percintaan dinovel-novel diawal abad XX itu bukanlah sebuah gambaran nyata dari struktur sosial masyarakat pada jaman itu, tetapi itu metafora dan simbol yang menunjukkan ideology si penulis.
Kita coba membedah roman “Siti Nurbaya” dan “Dibawah Lindungan Ka’bah”. Kisah yang tidak sesuai dengan konteks kekinian adalah gambaran tokoh Syamsul Bahri, sampai mati ia tidak pernah sudi melepaskan kekasihnya Siti Nurbaya dipersunting Datuk Maringgih, beragam cara ia lakukan hingga ia menemui ajalnya karena kegigihannya merebut Siti Nurbaya.  Meski Siti Nurbaya sudah berstatus istri orang tidak menyurutkan cintanya, ia tetap teguh pada cintanya pada Siti hingga ajal menjemputnya.
Sama halnya dengan Zainab, sampai ajal menjemputnya ia tetap menanti Hamid, pemuda desa yang telah pergi tanpa diketahui keberadaannya. Di roman itu Zainab begitu yakin bahwa Hamid akan datang suatu hari nanti untuk menjemputnya, karena keyakinan itu ia terus menolak lamaran keluarga Arifin yang menyuntingnya. Pada akhir ceritnya, Zainab dan Hamid meninggal dengan memendam cinta, cerita ditutup dengan kesimpulan bak kasih tak sampai, “jikalau di dunia ini kita tidak bisa bersatu maka diakheratlah tempat yang kekal.”
Dari cerita dua roman itu adalah bentuk sastra, kisah itu diramu dari fakta yang dibalut metafora. Setting saat ditulisnya novel itu pada zaman pergerakan nasional. Pada zaman itu muncul berbagai macam gerakan dan partai-partai beserta sampan-sempalannya. Ideologi menjadi adalah isu yang terus meruncing antar kalangan, bahkan sampai terjadi perpecahan antar golongan hanya karena ideology. Seperti halnya PKI yang menyempal dari organisasi induknya. PKI yang pada awalnya diisi oleh orang-orang Syarekat Islam, terjadi dualisme untuk meramu ideology komunis dan islam menjadi satu kesatuan atas dasar musuh bersama yaitu kapitalisme dan kolonialisme.
Tjipto Mangunkusumo akhirnya keluar dari organisasi Boedi Oetomo dan diikuti oleh beberapa rekannya yang lain karena organisasi itu dianggap tidak mewakili pemikirannya (ideology). Konon Boedi Oetomo adalah perkumpulan sekterian khusus untuk orang jawa dan ningrat. cita-cita organisasi ini adalah untuk mendirikan Negara di Pulau Jawa dengan falsafah Jawa sebagai ideologinya.
Lain padang lain belalang,
Lain lubuk lain pula ikannya.
Berbeda jauh dengan sastra dan realita pada awal abad XX, sastra abad XXI lahir menjadi sastra yang realistis.  Tawakal dan berserah diri kepada Sang Khalik menjadi ciri dari tokoh dalam novel percintaan abad millennium.
Mengacu pada tokoh Nurul dalm novel Ayat-Ayat Cinta yang begitu terpuruk karena Fahri yang begitu ia cintai diketahuinya menikahi gadis lain. Hancur dan remuk redam begitu yang dirasakan Nurul ketika itu, tetapi itu tidaklah berlangsung lama, kesedihannya terobati dan cintanya kepadanya dengan mudah berpaling kepada tokoh Khalid yang akhirnya menjadi suaminya.
Senada pula dengan Tokoh Azzam dalam novel Ketika Cinta Bertasbih. Diawal cerita mencintai Anna, dan Anna diketahuinya adalah calon istri sahabatnya, Furqon maka dengan ikhlas Azzam mengubur cintanya pada Anna dan mendoakan agar Anna dan Furqon bahagia atas pernikahannya. Tetapi takdir menghendaki lain, diakhir cerita Anna dan Azzam akhirnya menikaha setelah Furqon menceraikan Anna.
Cerita Anna, Azzam dan Furqon bisa kita sebut sebagai kisah Siti Nurbaya abad modern antara Siti Nurbaya, Syamsul Bahri dan Datuk Maringgih, yang membedakannya adalah Syamsul Bahri dan Khairul Azzam memiliki pandangan yang berbeda tentang hidup.
Dari cerita dua novel itu adalah bentuk dari sastra, kisah itu diramu dari fakta yang dibalut metafora untuk memotret realita hidup dimana kisah itu ditulis. Mengutip perkataan Anis Matta, “Sekarang adalah masa untuk berkerja, masalah ideology sudah selesai dibahas pada jaman Imam Hasan al-Banna oleh ulama-ulama pendahulu kita.”
Berbicara masalah ideology rasanya tidak relevan lagi dimasa sekarang yang terpenting adalah pengejawantahan dari teori yang sudah ada. Hasil adalah tujuan utama, seperti halnya Nurul yang memutuskan untuk menikah dengan Khalid dan melupakan Fahri adalah sebuah langkah yang pragmatis, menikah dengan siapa itu bukan perkara asal tujuannya sama yaitu untuk Allah SWT.
Apapun ideology itu asalkan bisa membuat Indonesia sejahtera, itulah yang diutamakan untuk melawan arus globalisasi yang menuntut kita lebih fleksibel dalam setiap kebijakan.

Read More......