Seminar
“Konsolidasi Indonesia” yang diadakan gerakan Beli Indonesia dan Persatuan
Punawirawan Angkatan Darat (PP-AD) hari selasa 8 Mei 2012 di auditorium FISIP
Universitas Diponegoro bak “perang bintang” karena menggadang Jenderal-Jenderal
Orde Baru sebagai pembicara mendampingi Rektor Undip Prof. Sudarto dan Ir.
Heppy Trenggono sebagai key-note speaker.
Acara
ini kehilangan subtansinya, entah siapa menunggang siapa, apakah gerakan “Beli
Indonesia” menunggangi PP-AD untuk menggagas acara yang dihadiri oleh
akademisi, mahasiswa dan politikus atau jangan-jangan malah sebaliknya? Karena opini
yang dimunculkan oleh keduanya saling berkontradiksi. Gerakan Beli Indonesia,
Heppy Trenggono membawa misi untuk menumbuhkan mental mencintai produk anak
bangsa, langkah action yang digagas sedangkan PP-AD masih berkutat pada wacana ideology
kebangsaan.
Acara
dibuka dengan pembacaan pledoi Soekarno dengan Indonesia menggugat, seperti
ingin menghadirkan suasana orde lama ditengah seminar seorang tokoh mantan Rektor
Universitas 17 Agustus Semarang membacakan teks dengan meniru gaya Soekarno. Suasana
diruangan seperti sengaja disetting seperti diskusi orang-orang nasionalis dari
Partai Nasional Indonesia (PNI) Soekarno. Selain purnawirawan TNI juga
mengundang putri kandung Presiden Indonesia pertama yang juga ketua umum PNI,
Sukmawati Soekarno. Orasi dibuka oleh rektor Undip kemudian dilanjutkan oleh
kuliah umum tentang ideology kebangsaaan.
Letnan Jenderal TNI (Purn) Kiki Syahnakri yang pernah diduga sebagai aktor di kasus Liquisa, 12 Januari 1995 yang menelan korban sedikitnya 6 orang tewas dalam pembantaian ninja saat ia bertugas di Timor Timur ini mengutarakan ide mewakili PP-AD agar mengembalikan UUD 1945 sebelum amandemen tahun 2002 pascareformasi. Tujuan mereka satu yaitu menyelamatkan NKRI dari bahaya neo-kolonialisme dan liberalisme. Pancasila harus menjadi ideologi tunggal seperti pada zaman orde baru dan harus ada pasal subversif yang bisa menghukum bagi mereka penentang ideologi pancasila.
Diskusi tentang masalah ideologi seperti ini adalah diskusi yang kontra-produktif. Sebaiknya sudahi saja diskusi mempertentangkan antar ideologi dan biarlah itu menjadi sejarah romatika masa orde lama, dimana Indonesia tidak jua selesai membangun karena energi habis terkuras dalam wacana tanpa karya. Usaha Soekarno untuk menengahi "pertikaian" ini dengan politik nasakom-nya (Nasional, Agama dan Komunis) malah menjadi blunder kejatuhan rezimnya oleh TNI dan Mahasiswa saat peristiwa revolusi 1966.
Secara
garis besar usulan PP-AD untuk menina-bobokan rakyat Indoensia ke masa lalu
agar mendukung ide mengembalikan format MPR sebagai lembaga tertinggi Negara dengan
komposisi keterwakilan antar etnis dan golongan bukan keterpilihan seperti
sekarang ini. Mereka menjual Ideologi serta menjual kekhawatiran akan nasib
NKRI jika tidak segera kembali pada pancasila dan UUD 18 Agustus 1945.
Indonesia ada lebih dari 400 etnis, dan ini berpeluang untuk pecah menjadi
beberapa Negara seperti Uni Soviet yang memiliki 125 etnis kemudian pecah
menjadi 15 negara baru. Sungguh ini mencederai demokratisasi yang sedang kita
bangun selama satu dasa warsa ini.
Akan tetapi untuk mewujudkan ideologi ini harus berhadapan dengan beberapa kubu tembok raksasa yaitu (1) Liberal dan neo-kolonialisme, (2) Oppurtunis / Pragmatis, (3) Fundamentalis Islam, dan (4) Gerakan kiri Baru (politik balas dendam) yang membahayakan Negara. Ini juga bertentangan dengan UUD pasal 28 tentang kebebasaan berserikat, berkumpul dan mengemukakan pendapat.
Akan tetapi untuk mewujudkan ideologi ini harus berhadapan dengan beberapa kubu tembok raksasa yaitu (1) Liberal dan neo-kolonialisme, (2) Oppurtunis / Pragmatis, (3) Fundamentalis Islam, dan (4) Gerakan kiri Baru (politik balas dendam) yang membahayakan Negara. Ini juga bertentangan dengan UUD pasal 28 tentang kebebasaan berserikat, berkumpul dan mengemukakan pendapat.
Saya
ini langkah konyol jika kita mau menuruti kehendak para Jenderal pensiunan
tersebut. Jelas ini gaya orde baru sekali, ide mereka ada turunan dari
cara-cara Soeharto melanggengkan kekuasaannya yang bertahan sampai 32 tahun. Ketika
Sukmawati Soekarno mendapatkan kesempatan untuk bersuara, ia menolak ide-ide
gila ini karena akan mengembalikan momok TNI yang suka melanggar HAM. Ia mengatakan
bahwa ia adalah saksi hidup bagaimana TNI melakukan pembantaian terhadap
pribadi atau golongan tidak sefaham dengan Pancasila. Sayang hanya beliau yang
berani melawan arus, yang lain hanya pembeo.
Mereka
ingin mengangkangi semangat reformasi 1998 yang telah diperjuangkan mahasiswa
dan rakyat miskin kota. Alasan mereka sebagai lip service adalah untuk menyelamatkan NKRI dari cengkeraman
korporasi asing, ini perang generasi keempat, perang pemikiran. Dan itu semua
harus diproteksi dengan Pancasila.
Sekilas
kita pasti akan terlena oleh orasi ala militer para Jenderal ini, tetapi ada
kepentingan yang lebih besar dari sekedar mengembalikan UUD 45 sebelum
amandemen, itu cuma alat. Dan tujuan mereka sebenarnya ingin mengembalikan dwi
fungsi ABRI sebagai alat politik dan militer. Format MPR dengan keterwakilan
golongan, jelas nanti bakal ada keterwakilan TNI disana parlemen. Militer akan
kembali berpolitik dan militer akan kembali berbisnis. Ini mencederasi
reformasi supremasi sipil dan profesionalisme TNI sebagai alat perhananan Negara.
Rupanya para Jenderal menginginkan “jatah pensiunan” yang tinggi dari yang sekarang
ini didapat, kemana lagi mencari uang itu kecuali dengan berbisnis setelah menajamkan
kuku politiknya di Senayan, seperi dalam tulisan George Junus Aditjondro yang
dimuat dalam Jurnal Wacana, edisi 17. Tahun III, 2004, Negeri Tentara: Membongkar Politik Ekonomi Militer.
Lalu
pemaksaan ideology tunggal Pancasila kepada 240 juta penduduk Indonesia, saya
rasa itu mencederai semangat kebhinekaan kita. Mustahil untuk menyamakan
pemikiran orang-orang perorang untuk menerima suatu fakta, walau benar
sekalipun. Semua orang mempunyai persepsi masing-masing, seperti halnya juga
dengan pancasila. Ada yang berpendapat Pancasila itu hanya sekedar nilai-nilai luhur,
bukan ideologi karena sifat dari pancasila sangat mutitafsir dan dibenarkan
pula oleh Soekarno sendiri, “kekuatan pancasila itu ada dalam multitafsirnya.” Jadi
sah-sah saja jika pancasila ditafsirkan menjadi liberal atau komunis, semua
bisa dilakukan karena ia bak air yang bisa menyesuaikan bentuk wadahnya.
Benarkah
Pancasila menjadi benteng dari pemikiran Liberal, Pragmatis, fundamentalis
Islam dan neo-komunis? Saya rasa tidak, jika Pancasila tetap dipertahanakan
sebagai azas tunggal, maka NKRI tidak pecah menjadi Negara-Negara berdasarkan
etnis tetapi menjadi Negara-Negara kontra-pancasila.
Sebagai
penutup ide dan gagasananya Letjen (Purn) Kiki Syahnakri mengatakan, “old soldier never dies”. Tetapi saya lebih
cocok jika diskusi kontra-produktif dengan purnawirawan TNI ini ditutup dengan
seruan, “no country for old man.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar