Ruwatan
adalah tradisi dimasyarakat Selo, Boyolali. Sebuah tradisi unik masyarakat yang
menghuni lereng antara Gunung Merbabu dan Gunung Merapi ini mengadakannya
sebagai even tahunan. Bersih desa, ada beberapa masyarakat yang menyebutnya
demikian. Ada dua lagi acara serupa yaitu Lebaran dan Saparan. Ketiga acara ini digelar dibulan-bulan
kalender islam, acara Saparan diadakan dibulan Safar, Lebaran pada awal bulan
Syawal dan Ruwatan diadakan baru-baru ini yaitu pada bulan Rabiul Akhir. Bakda
Mulud, begitu orang-orang lokal biasa menyebutnya.
Acara
Ruwatan hampir sama seperti perayaan dihari raya Idul Fitri, setiap keluarga
menyediakan hidangan untuk menjamu ramu. Waktu-waktu yang diambil dalam acara
Ruwatan ini setelah selesai masa tanam tinggal menunggu masa panen tiba. Dalam
rangka mengisi waktu senggang para petani, diadakanlah acara tersebut.
Para
tamu bukan saja datang dari luar desa saja bahkan sampai luar kota, sanak
family yang jauh mereka undang untuk merayakan bersama, tidak heran jika banyak
mobil dan motor dengan nomor polisi luar
kota berseliweran di jalan-jalan disekitar lerang gunung. Seperti halnya
lebaran, kita bertamu kemudian bersalaman saling maaf-memaafkan, bercengkerama
sambil menikmati hidangan. Acara ini pun berlangsung seperti itu, tetamu yang
datang disambut tuan rumah dengan ramah, disajikan berbagai macam penganan khas
lalu sambil mencicipi diselingi dengan obrolan-obrolan ringan terkait
pertanian, mulai dari varietas pertanian yang sedang prospek untuk ditanam,
bahkan sampai jual beli mobil menjadi perbicaraan yang umum.
Para
tetamu yang berkunjung biasanya tidaklah lama, sekitar 10-20 menit sudah cukup
kemudian mohon pamit untuk melanjutkan kunjungan ke tetangga lain. Satu hal
yang unik, tetamu harus dan wajib makan (nasi) yang juga sudah terhidang di
tempat terpisah. Para tamu biasanya makan sekedarnya barang 2-3 sendok sebagai
syarat, tidak sampai kenyang karena akan melakukan hal itu lagi ketika
berkunjung ke tempat lain.
Bila
ditinjau dari kacamata ekonomi, acara-acara seperti ini pasti akan menggerakkan
perekonomian dikawasan tersebut terutama disektor riil. Perputaran uang disana
bisa mencapai angka milyaran rupiah. Setiap keluarga rata-rata membelanjakan
uang Rp 2.000.000,- s/d Rp 5.000.000,- untuk menghidangkan jamuan. Ada berapa
kepala keluarga dalam satu kecamatan Selo? Ketika dan menjelang perayaan
otomatis akan ada perpindahan manusia, bisa dihitung perputaran uang dalam
dalam arus transfortasi saat terjadi kegiatan ekonomi didalamnya?
Kegiatan
semacam ini, acara swasembada warga desa hanya dapat ditemui dikomunitas
masyarakat tani. Orang kota atau orang kantoran yang super sibuk tidak akan
waktu luang untuk melakukannya. Entah siapa yang pertama kali menggagas acara
seperti ini? Entah apa dan bagaimana tujuan semula dari diadakannya acara
seperti ini? itu tidaklah penting, hal yang substansi ini adalah cara
pemerintah (dulu) untuk menggerakkan ekonomi mikro dikalangan masyarakat tani.
Pada saat musim panen, jika tidak ada perayaan Ruwatan, hasil panen akan masuk
lumbung atau disimpan dalam bentuk uang. Jika dua hal diatas terjadi, inflasi
akan meningkat karena perputaran uang berjalan lamban. Oleh karena itu, dikemaslah
kegiatan ekonomi tersebut dalam bentuk budaya, salah satunya ya acara Ruwatan di Selo ini.
Pada
zaman kerajaan dahulu, banyak diadakan acara-acara besar untuk menghibur
masyarakat seperti acara peringatan hari besar Islam, peringatan Maulid Nabi
SAW dan lain sebagainya yang kesemuanya itu untuk menarik warga berpergian ke
alun-alun atau ke pusat kerajaan, dengan adanya perpindahan manusia selalu
diiringi oleh kegiatan ekonomi, seperti transaksi dalam bentuk jasa, jual beli
dan rekreasi. Acara-acara itu serupa bukan saja ada dipusat kerajaan saja
bahkan dikalangan rakyat jelata juga dilakukan, seperti prosesi pernikahan,
sunatan, peringatan kematian dan sedekah bumi dilakukan dengan meriah sampai
menyedot banyak sumber daya.
Panglima
besar Islam, Shalahuddin Al-Ayyubi adalah penggagas pertama peringatan
kelahiran Nabi Muhammad SAW sesaat sebelum menyerang Yerusalem untuk merebutnya
dari pasukan musuh dalam perang Salib (1099-1187 M). Salah satu alasannya
mungkin untuk menggerakkan ekonomi, agar uang segera berputar cepat dan Negara
(Kekhilafahan Abbasyah) dapat memungut zakat lebih banyak untuk mengisi kas
baitul mal. Perang memerlukan dana yang tidak sedikit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar