Perang adalah instrument politik. Perang juga tidak bisa
dilepaskan dari asas hidup manusia. Insting makhluk yang bernyawa adalah
bertahan hidup dan menjaga eksistensinya, keduanya dekat dengan yang namanya
perang.
Pada zaman patriarki, ada tiga romantika penyulut
bara peperangan antar kaum, harta, tahta dan wanita. Harta dan tahta adalah tujuan dari
nafsu manusia untuk hidup, begitu pula dengan wanita .
Jadi perang bukan saja instrument politik tetapi
murni sebagai instrument diri sebagai manusia. Dalam kajian syariah, perang
(jihad) adalah wajib hukumnya bagi setiap muslim, dan itu jihad perang selalu
diikuti oleh jihad harta.
Diwajibkan atas
kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh
jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula)
kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang
kamu tidak mengetahui. (QS AL
BAQARAH:216)
Perang tidaklah buruk, perang tidak bisa dicap
sebagai kejahatan yang kejam, karena perang hanyalah instrument (alat) dan alat
itu ibarat pedang yang bergantung pada siapa yang menghunuskannya, mau dipakai membunuh musuh atau mengiris bawang. Jika perang dikatakan busuk,
yang busuk adalah manusia yang menjalankannya, demikian sebaliknya. Sama halnya
dengan politik, banyak orang bilang politik itu kotor, tetapi tidak
demikian kita mendudukan dikotomi antara perang dan politik. Bila politik itu kotor, mereka
yang kotor adalah orang-orang yang berpolitik, sedangkan politik sebagai alat
tidak semudah itu dinodai hingga merubah makna, maksud dan tujuan dari politik.
Paradigma negatif tentang perang kita dapatkan dari
stigma barat. Kita menilai perang karena berkaca pada sejarah peperangan bar-bar
dan tidak berprikemanusiaan yang pelakunya adalah Negara-negara barat. Perang
Nafoleon, perang dunia I, Perang Dunia II, Perang Vietnam, semuanya memakan
korban jiwa yang luar biasa banyak, mereka memberikan terror kepada warga
sipil. Bukan hanya itu, salah satu efek pascaperang yang dilancarkan barat
adalah kemiskinan, kelaparan dan hutang besar yang harus ditanggung oleh Negara-negara
yang bertikai bahkan negara sekitarnya juga tak luput kena imbasnya.
Seharusnya kita membuka kembali sejarah perang yang
dilakukan kaum muslimin, sejarah perang yang dilakukan Rasulullah SAW dan para
sahabat. Pada zaman sepuluh tahun kekuasan Khalifah Umar bin Khaththab Ra
terjadi perang besar yang berkepanjangan sampai masa Khalifah Usman bin Affan
Ra. Pasukan muslim saat itu menguasai sepertiga dari dunia, kekaisaran Romawi
Timur, Bizantium hancur dan Persia berhasil direbut. Apakah Kekhalifahan Umar
bin Khaththab menanggung hutang besar akibat perang? Apakah masyarakat ketika itu hidup menderita akibat ekspansi pasukan muslim? Sejarah tidak mencatat adanya "bencana" di negeri-negeri yang telah dibebaskan oleh para mujahidin tersebut, bahkan itu menjadi rahmah bagi mereka karena lepas dari kekejaman penjajahan negara-negara adidaya ketika itu.
Dan satu hal yang mencengangkan bahwa Khulafaur Rasyidin kedua itu tidak meninggalkan hutang sedikitpun ketika menyerahkan tampuk kekuasaan ke Usman bin Affan menggantikan dirinya menjadi Amirul Mukminin, kita tahu bahwa perang pasti menguras biasa yang luar biasa besarnya.
Dan satu hal yang mencengangkan bahwa Khulafaur Rasyidin kedua itu tidak meninggalkan hutang sedikitpun ketika menyerahkan tampuk kekuasaan ke Usman bin Affan menggantikan dirinya menjadi Amirul Mukminin, kita tahu bahwa perang pasti menguras biasa yang luar biasa besarnya.
Lain halnya dengan Amerika dan sekutu dalam perang
Afghanistan dan Iraq (2001 - ?). sepuluh tahun berperang, Amerika Serikat
menanggung hutang yang besar dan Negara sekutunya di Eropa terkena krisis
ekonomi, demikian pula dengan Negara yang diserang, mereka menderita kerugian
moril dan materiil.
Inilah perbedaan perang muslim dan kafir. Apakah
kita tetap menilai perang dari kacamata barat?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar