Sabtu, 19 Maret 2011

POLITIK (MEM)BALAS BUDI


Oleh: Adisaputra Nazhar

Semarang, musim penghujan 1925.
Kotaku kini berubah, bangsawan banyak yang kebarat-barat dan para masyarakat menjadi taklid karena  menjunjung tinggi feodalisme. Karena itulah aku dulu terjebak dan mengidolakan Karl Max, dia seorang atheis sama seperti Ramaku. Tetapi ketika aku belajar teologi di sekolah Belanda tempatku menimba ilmu, aku semakin yakin bahwa Tuhan itu ada, tidak seperti yang dikatakan Rama dan orang-orang Loji yang merupakan teman dekatnya.
Politik etis inilah akar dari semua masalah ini. Penjajah memberikan pendidikan kepada pribumi dengan dalih berbalas budi, mana mungkin penjajah mau berbaik hati? kalaupun mereka berbaik hati itupun harus dicurigai, begitulah kata Ki Sentot kepadaku. Semula aku tidak percaya, tetapi ketika berkaca pada realita yang kualami. Orang tua itu benar, dengan adanya pendidikan ala barat yang diajarkan di sekolah, aku tidak pernah bersentuhan dengan pendidikan agamaku. Sehingga ketika Ki Sentot menanyakan, apakah kau mengenal Muhammad? Jelas aku menggeleng.
Semua tahu aku islam, semua rakyat mengenal Rama beragama islam. Siapakah Muhammad itu? Mengapa aku tidak mengenalnya, hampir tokoh barat yang berpengaruh semua aku tahu.
Ki Sentot tidak mau menjelaskan siapa Muhammad, aku dimintanya untuk mencari jawabannya sendiri. Ia kemudian bertanya, “apakah kamu merasa kota ini sudah kacau?”
“Ya,” jawabku.
“Mengapa?”
Ini pertanyaan yang menantang bagiku, akan kutunjukkan bahwa aku adalah seorang bangsawan terpelajar. Jarang ada anak sebayaku yang bisa mengenyam pendidikan. Ada beberapa temanku yang buta huruf, hanya bisa mengaji saja.
“Masyarakat kota ini semakin tidak terarah, mereka hidup terombang ambing dalam ketidakpastian. Ada tiga golongan masyarakat, pertama golongan bangsawan atau kaum borjuis, mereka adalah sekumpulan bangsawan terpelajar sepertiku, mereka sangat mengagumi modernitas dunia barat,” kataku dengan nada dan tata bahasa yang mengagumkan, Ki Sentot pasti tidak menyangka aku sepintar ini.
“Kedua, golongan rakyat jelata atau kaum proletar. Mereka adalah kaum tertindas karena bukan kalangan bangsawan, ideologinya adalah sosialisme anti barat dan menuntut masyarakat tanpa kelas. Dan yang ketiga adalah rohaniawan seperti Ki Sentot ini, orang-orang ini hanya memikirkan masjid saja dan mengindahkan pasar.”
Aku kira cukup untuk penjelasanku, Ki Sentot mengangguk tanda ia mengerti. “Apa aku bisa menanyakan kepada orang-orang masjid itu tentang siapa itu Muhammad?”
Ki Sentot malah menyeringai, “Kau tidak akan mendapatkan jawaban yang memuaskan jika bertanya kepada mereka.”
“Lalu.”
“Jawab dulu pertanyaanku, apa saranmu untuk masalah kota ini? Bukankah kau datang dari kalangan bangsawan terpelajar anak muda.”
Sedikit lebih banyak aku merenung, tetapi tidak menunggu barang semenit aku jadi tertawa. “Orang yang lebih tua dan lebih pintar dari diriku saja tidak bisa memecahkannya.”
Untuk kedua kalinya Ki Sentot mengangguk lagi.
“Kau mempunyai saran orang tua?”
“Kenapa kau bertanya kepadaku?”
“Sepertinya ada yang ingin kau katakan, apa itu?” aku penasaran dengan ekspresinya. Ki Sentot pasti menyimpan pemecahan masalah ini dalam anggukannya tadi.
“Kau kenali dulu siapa itu Muhammad, setelah itu kau bisa kembali kepadaku.”
“Bagaimana aku mengenalnya, sedangkan kau tidak ingin mengatakan siapa dia sebenarnya. Kau juga melarangku menanyakannya kepada orang-orang masjid. Kemana lagi aku bertanya?”
“Datanglah ke pasar, kau tanyakan kepada orang-orang pasar siapa itu Muhammad. Kau akan lebih mengenalnya karena ia akrab sekali dengan pasar semasa hidupnya.”
“Sesederhana itukah.”
“Ya, Muhammad adalah pribadi yang sederhana. Ah, tidak usah kujelaskan lagi kau cari saja dia ditempat yang kusebutkan.”
Itulah dialogku yang memaksa aku kemari. Seumur hidup baru kali ini aku ada dipasar, melihat kehidupan yang belum pernah terpikirkan olehku. Aku tahu pasar itu kotor, ia adalah lahan para penjajah kolonial menipu kaum pribumi, tempat siapapun boleh berdusta. Apakah jejak Muhammad itu ada ditempat yang ‘kotor’ ini?
Orang yang pertama yang kutemui adalah seorang yang berpakaian paling mewah diantara khalayak ramai, ia berpenampilan rapi dan harum minyak wanginya begitu menusuk hidungku. Ini mungkin yang dimaksud Ki Sentot, orang ini mengenal Muhammad. Aku yakin Muhammad itu adalah orang besar jika benar saudagar kaya ini adalah pengikutnya.
“Assalamualaikum,” demikian aku menyapa.
Ia membalas sapaanku dengan sumringah bak seorang Adipati yang mendapat kunjungan dari pemeritah Koloial Belanda. “Ada yang bisa saya bantu?”
“Apakah anda Islam?” tanyaku karena aku ragu.
“Mengapa anda bertanya demikian? Tetapi tidak apa-apa akan saya jawab, saya islam bisa dibuktikan saya bisa bersyahadat.”
Kemudian saudagar kaya itu menyebutkan dua kalimat syahadat dengan lancar, tetapi aku malah bingung kenapa ia tidak tersinggung aku bertanya demikian, bukankah masalah agama adalah masalah yang sangat sensitif. Ah, mungkin karena dia sedang berdagang, bukankah pelanggan adalah raja, jadi pantas ia melayaniku sebaik-baiknya.
“Saya islam, bukan?” kembali ia menegaskan.
Aku mengangguk untuk membuatnya senang. Jika bertanya siapa Muhammad kepada orang ini, ia pasti kenal karena lancar bersyahadat. Kalau begitu pertanyaannya dibalik, begitu pikirku.
“Siapa yang anda idolakan?”
“Kenapa anda bertanya begitu?” lagi-lagi ia protes, tetapi kali ini tidak langsung dijawab seperti pertanyaan pertama.
“Saya hanya bertanya, anda bisa sukses menjadi kaya seperti ini tentu ada yang membimbing. Saya tanya siapa idola anda?”
“Oh, itu.” Dahinya tampak berkerut dulu sebelum keluar sebuah jawaban dari mulutnya. “Uang.”
“Uang!?” aku benar-benar tidak menduga.
“Ya, uang. Uanglah yang menuntun saya menjadi kaya, kalau bukan karena uang saya tidak disebut orang kaya. Semua butuh uang, apa lagi yang kau idolakan selain dia.”
Aku kecewa mendengar jawaban dari orang kaya sombong ini. Ia bukan orang yang kucari, ia tidak mengenal Muhammad walau ia fasih menyebutkan namanya. Kalau memang Muhammad dijadikan tauladan karena ia kaya, tidak mungkin orang yang dikagumi oleh Ki Sentot itu adalah orang yang sombong dan gila harta.
Kutinggalkan orang itu sebelum tawanya habis, beberapa kali terdengar dibelakangku ia masih saja tertawa, sepertinya ia puas karena berhasil meledekku.
Di persimpangan jalan aku melihat seorang gelandangan, ia sedang duduk ditepi jalan dengan menadahkan tangannya. Orang itu berpakaian lusuh dengan sarung yang kalungkan di leher dan memakai peci putih khas penutup kepala para haji. Ia orang islam, aku harus bertanya kepadanya.
“Permisi Bapak,” aku menunduk agar kepalaku sama rata dengannya.
Pengemis tua itu menatapku dengan memelas kasihan, kuberi dia uang dua keping. Ketika itu pula rona wajah memelas tadi sirna berganti dengan raut muka yang bahagia, namun hanya sesaat, ketika ada orang lewat disampingnya, ia kembali memasang wajah yang tadi.
“Saya mau bertanya,” aku mencoba meminta perhatiannya sejenak tetapi lagi-lagi ia menadahkan tangannya kepadaku sambil memelas seperti tadi.
Kukeluarkan satu lembar uang kertas dari saku celanaku, ia jadi sumringah dan tampak bersemangat lebih memelas kepadaku. “Saya janji akan memberikan ini asal Bapak mau menjawab pertanyaan saya.”
“Apa pertanyaannya?” ia tidak peduli apa yang akan saya katakan. Mata hatinya sudah tertutup oleh selembar kertas, mungkin dengan mendapatkan uang ini ia bisa langsung pulang. Aku yakin penghasilannya sehari tidak sebanding dengan uang yang ada di tanganku.
“Bapak kenal siapa Muhammad?”
Pengemis tua itu mengangguk.
Aku tergelak riang, akhirnya aku dapat menemukan jejak Muhammad di pasar ini.
“Apakah ia seorang pemimpin ummat, orang besar yang telah memberikan keadilan dan kesejahteraan?” aku antusias mericek kebenaran kabar angin itu.
Ia malah menggeleng.
“Kenapa?”
“Saya tidak tahu jika dia seperti itu. Apakah dia mau hidup miskin seperti saya dan memperlakukan semua rakyat adalah sama, sama rata dan sama rasa?”
“Kau sudah menemukan jawabannya?”
“Sampai hari ini belum.”
Aku tertunduk lesu, malas mataku menatap lagi wajahnya yang menjijikan. Kini rasa itu menghampiriku lagi, ternyata pengemis yang menderita itu sama sekali tidak mengenal Muhammad, sebenarnya aku berharap orang ini mengenalnya. Seperti kata Ki Sentot, ia akan terbebas dari belenggu hidupnya jika ia mengikuti uswah hasanah itu. Ternyata orang ini sama dengan Rama, jangankan percaya bahwa Muhammad sebagai Rasulullah, percaya kepada Tuhan saja masih diragukan.
Gerak kakiku berjalan gontai mengarungi ramainya pasar kota, aku tertunduk saja sepanjang perjalananku. Kulihat sepatuku kotor terkena cipratan genangan air.
Tiba-tiba saja tubuhku menabrak sesosok muda, kukira ia seorang Belanda ternyata hanya pakaiannya saja yang bergaya eropa. Wajah pribuminya tetap tidak bisa dirubah. Kutatap rupa pria itu, aku mengenalnya, tentu saja aku tahu siapa dia.
Pemuda itu bernama Hendra Martawardhana, sejak dia kembali dari Leiden, ia mengubah namanya menjadi Hendric Marty Warden. Sekilas perubahan namanya itu hanya beda penyebutan di lidah saja, tetapi itu sudah merubah arti sebenarnya. Dia kini bekerja pada kolonial Belanda setelah menjadi sarjana dari universitas tertua di negeri kincir angin itu.
“Mas Hendro.”
Wajahnya berubah tidak menyenangkan mendengar nama jawanya disebut.
“Mr. Hendric,” rona wajahnya langsung bersahabat, ia tersenyum ramah.
“Apa yang kau cari di pasar ini?”
“Aku sedang mencari Muhammad.”
Ia tertawa mendengar kepolosanku.
“Kau salah tempat, Muhammad hanya ada di masjid, tidak di pasar, tidak dalam masyarakat apalagi di dunia pemerintahan.”
“Kenapa kau berkata begitu?” kali ini aku yang bertanya demikian seperti saudagar kaya dan pengemis tua tadi.
“Ini kehidupan dunia man, jaraknya terlampau jauh jika kau bertanya akherat di sini.”
“Apakah ia hanya mengajarkan akherat?” aku mempertanyakan itu, karena jelas dari Ki Sentot aku dapat mengenal Muhammad di pasar, bukan hanya di masjid.
Sekarang itu terbukti, aku tidak puas atas jawaban Hendric, sebagaimana kata Ki Sentot jika kubertanya kepada orang-orang masjid. Keduanya sama saja, mereka memisahkan dua kehidupan yang saling berkaitan.
Kuputuskan untuk pergi saja sebelum aku mendengar jawaban darinya. Hendric jadi aneh sejak pulang dari Belanda, apa yang ia sampaikan selalu bertele-tele dan berputar-putar tanpa ada bisa ditarik kesimpulan. Ia sering mengutarakan gagasan dengan bahasa yang tidak bisa dimengerti, aku saja yang sekolah di MULO saja tidak bisa mencerna kata-katanya, apalagi rakyat jelata yang masih awam.
“Eh, mau kemana sampeyan? Dengar dulu penjelasanku,” cegahnya sembari mengulurkan tangan.
Perkataannya itu kujawab dengan punggungku yang terus bergerak menjauhinya. Aku tidak mau tahu apa yang akan dikatakannya, menghabiskan waktuku saja meladeni orang yang suka berpikir neko-neko itu.
 Ketika kusampai dijalan terakhir di pasar ini, kumendapati seorang pedagang yang bersorban. Ia memakai jenggot yang panjang dan lebar sementara kumisnya habis dipangkas.
 “Apakah anda tahu di mana ada Muhammad?” tanyaku langsung pada pokok persoalan. Aku yakin dia faham, karena penampilannya tidak beda dengan Ki Sentot.
“Ya, saya tahu.”
Sekali lagi aku tergelak, persis seperti ketika bersama pengemis tua tadi. “Dimana dia? Bisa kau katakan di mana, aku ingin mengenalnya.”
“Di India.”
Kepala ini mendidih mendengar perkataannya, aku yang tidak pernah sholat saja tahu kalau pedagang ini telah berkata dusta. Ia pembohong besar.
“Kau berdusta,” makiku saat itu juga. “Wahai para penghuni pasar, pedagang ini telah berkata dusta, ia mengatakan kepadaku bahwa Muhammad ada di India.”
Orang-orang pasar berkumpul mengelilingi kami berdua, sebuah lingkaran besar yang mengapit dua raga yang ditatap nanar oleh mereka. Sorot mata para penghuni pasar itu seperti akan menelanjangiku dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Dia berdusta saudara-saudara,” kataku.
“Tidak! Apakah Tuhan telah berkata kepadamu bahwa aku berdusta. Saudara-saudara sekalian, jangan mau termakan hasutannya. Anak ini gila, ia radikal.”
Pedagang dengan liciknya membalikkan fakta, ketika itu pula orang-orang pasar jadi berpihak kepadanya. Tatapan mata mereka kuat menghujamku, aku hanya bisa menelan ludah. Salahkah perkataan yang keluar dari mulut ini.
Pertama kali yang kurasakan, sebuah pukulan telak mengarah ke pelipis kiriku. Aku menjadi bulan-bulanan warga, aku dihakimi masa. Apa salahku? Aku hanya ingin mencari jejak nabiku, siapa Muhammad itu. Apakah jika kita mengenalnya, dunia ini akan memusuhiku seperti ini.
Kepalaku berdarah, badanku remuk dihantam gada masyarakat. Palu hakim sudah diketuk dan kini palu itu diarahkan kepadaku. Ketika tubuhku diseret keluar, samar kulihat seorang berpakaian dinas berdiri di belakang pedagang tadi. Mataku tidak bisa lagi mengenali siapa dia, pendanganku kabur. Aku jadi mati suri kala itu.


Semarang, 26 Februari 2011


2 komentar:

  1. terima kasih,
    tetapi ini masih kurang deskripsi tentang analogi peristiwa. 'metafora' juga nya belum ada.

    BalasHapus