Senin, 21 Maret 2011

KITA TIDAK BUTUH YANG NAMANYA "AGAMA"



Kata “agama” berasal dari kata sansekerta, “a” berarti “tidak” dan “gama” berarti “kacau”. Jadi secara bahasa agama dapat berarti “tidak kacau”, sedangkan agama dalam bahasa Inggris adalah “religion” yang berari “kepercayaan” dan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah “diin” dalam bahasa al-qur’an yang berarti “undang-undang atau peraturan”.

Dalam Neuro-Linguistic Program (NLP) dikenal istilah negasi, yang mana dalam konsep psykologi ini alam bawah sadar kita tidak dapat menyerap kata “tidak”. Sebagai contoh: jangan pikirkan monyet hitam yang berbicara “nguk, nguk”, sekali lagi jangan pikirkan monyet hitam yang selalu berbicara “nguk-nguk.” Saya yakin pasti dibenak saudara akan tergambar seekor simpanse berbulu hitam dan sedang berteriak “nguk-nguk” walaupun  berulang kali saya katakan, JANGAN.

Inilah kenapa kita tidak butuh yang namanya “agama”, karena ia mengajarkan kekacauan didalam pengetian “tidak kacaunya” itu. Mengapa konflik abadi berada di negeri kita ini tidak berkesudahan? Jawabannya mungkin akan berurat berakar dialam bawah sadar masyarakat tentang pengertian dari “agama” itu sendiri. Jadi masing-masing dapat mengaku paling benar, bila ada yang membuat ‘kekacauan’ (baca menyimpang) dalam suatu agama maka dinilai “sesat”.
Kejadian ini serupa dengan konflik berkepanjangan yang akhirnya memecah belah bangsa Eropa menjadi pada awal masa renaisans. Agama dalam tataran mereka (masyarakat Eropa) adalah religion atau “kepercayaan”. Dimana-mana kepercayaan itu selalu bersifat subjektif, karena tidak ada yang bisa melegitimasi sebuah kepercayaan secara objektif. Sebagaiaman kita tahu, akhirnya agama Kristen telah terpecah menjadi dua yaitu Katolik dan Protestan. Benarkah konflik ini bersumber dari pemahaman agama itu adalah kepercayaan?

Bila agama mengacu pada “diin”, pengertiannya adalah peraturan, undang-undang atau way of life, cara hidup. Islam mengatur semua hajat hidup manusia, dari hal yang terkecil hingga hal yang terbesar semua ada dalam “aturan langit” yang telah diwahyukan kepada utusan-Nya. Jika kita meyakini bahwa sumber-sumber agama itu berasal dari langit, kenapa ada agama yang tidak punya aturan yang menyeluruh untuk urusan dunianya? Apakah Tuhan kita menurunkan “agama” agar manusia tidak kacau didunia ini atau Ia hanya ingin memakai agama sebagai “media” agar ummat-Nya percaya akan eksistensi Tuhan? 

Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (52:56). Inilah aturan tentang hakekat penciptaan manusia, sedangkan ibadah merupakan satu-satunya cara untuk mempertahankan status manusia sebagai hamba Allah (vertical) dan cara kita menjalin hubungan sesama manusia atau lingkungan (horizontal). Fungsi dari agama (baca diin) secara umum adalah dua hal tersebut, Tuhan sudah mengatur semuanya. Jadi bukan agar “tidak kacau” atau hanya sekedar “kepercayaan” semata.

Para ulama banyak yang tidak sepakat jika padanan kata Diinul Islam adalah agama. Sebuah padanan kata yang kurang tepat karena mempersempit keluasan makna dari ‘diin’ itu sendiri.

2 komentar: