Minggu, 11 Desember 2011

PENGARANG SUDAH MATI?


Saat langit merah menyala diufuk timur, ayam jantan baru saja berkokok riang dan kumandang iqomat telah diperdengarkan di pagi buta ini. Diskusi kecil-kecilan ba'da sholat subuh berjama'ah disebuah Surau kecil di Jl. Tegalsari RT 05 / RW VIII bersama Pak Gol A Gong, Kang Agus M Irkham dan Syah Aziz. 

Awalnya selepas sholat Pak Gong berdiri dihalaman musholla, aku Kang Agus dan Aziz mendekati beliau lalu penulis berambut gondrong yang gondrongnya kalah panjang dengan rambutku memulai perbicangan seru mengenai literasi. Pak Gong dengan gaya khasnya mampu menyulut api yang membara dalam dada kami, seperti demikian parahkah dunia yang sedang kita hadapi sekarang ini?

"Ya," jawab beliau dengan aksen sunda khas urang Serang.

Memperbaiki Indonesia dan merevitalisasi semua sistem "dajjal" peninggalan penjajah yang terus lestari dari orde lama hingga orde baru bukan perkara mudah. Hampir semua lini di segala sektor kehidupan in perlu diperbaiki, cara yang paling efektif dimulai dari diri sendiri dan dengan apa yang bisa kita perbuat? ini jihad! Menggiatkan sastra dan dunia tulis baca adalah salah satu cara yang bisa dilakukan mengingat rendahnya minat budaya membaca di kalangan pada akar rumput. Jumlah judul buku yang terbit pertahunnya untuk sebuah negara besar dengan penduduk 240 juta jiwa ini hanya 10.000/tahun, sangat jauh dibandingkan jepang 65.000 judul buku pertahun dan Inggris 110.000 judul buku pertahun. Bayangkan saja jumlah penduduk kedua negara jauh lebih sedikit dari Indonesia.

Masyarakat yang gemar baca dan tulis adalah cermin dari sebuah negara maju dan menjadi simbol peradaban. Ingat sebuah petikan dari Pramoedya Ananta Toer yang selalu menjadi bahan renunganku, "kalian boleh maju dalam pelajaran, mempunyai gelar yang panjang berderet-deret, namun apabila tidak mengenal sastra kalian hanya binatang yang pandai."

Seseorang tokoh sastrawan Indonesia sangat mengagungkan sastra, memang ini terlihat sangat subjektif sekali karena keluar dari mulut seorang sastrawan, lain soal bila pernyataan ini muncul dari seorang Prof. DR. Ing BJ. Habibie misalnya. Tetapi kajian arti kata "sastra" itu sangatlah luas, sastra dalam bahasa sanskerta berarti undang-undang/peraturan; kitab ilmu pengetahuan sastra dalam bahasa Arab adalah adab, budi pekerti yang halus, akhlak yang baik. Entah makna sastra yang mana yang dimaksud Begawan Sastra Indonesia itu, tetapi semua makna itu akan sangat mendukung kalimat selanjutnya.

Apa jadinya seseorang sarjana tanpa mengenal sastra? ia akan menjadi binatang yang pintar seperti kata Mas Pram. Professor adalah gelar kesarjanaan bagi seseorang yang menguasai bidang tertentu, ia bisa disebut ahli karena kemampuannya dibidangnya berada diatas rata-rata orang kebanyakan, tetapi bila kita bandingkan dengan topeng monyet, bisakah monyet itu mendapat julukan Professor? dia layak mendapatkan titel karena dibandingkan dengan monyet-monyet lain ia mempunyai keahlian lebih. Perbedaannya ada pada seni. Sepintar apapun binatang dia hanya bisa melakukan hal-hal rutin, ia disebut "ahli" karena dilatih terus menerus. Hidupnya hampa tanpa inisiatif sama sekali, mungkin tidak akan terbesit pemikitan bahwa si monyet akan menciptakan variasi-variasi dalam parodi topeng monyet. Bila seorang manusia bergelar professor dengan gelar berderet-deret itu tidak mempunyai inisiatif untuk mengembangkan ilmunya demi masyarakat, dia mau bergerak hanya jika ada proyek saja, ia sama halnya dengan "professor" topeng monyet yang bergerak hanya bila ada gendang "proyek" yang ditabuh. Inilah binatang yang pandai menurut Mas Pram, karena seni yang paling dekat dengan dunia akademik adalah sastra. 

Prof. DR. Ing BJ. Habibie adalah contohnya nyata dimana seorang ilmuwan yang sangat mengenal sastra, ia mempunyai tingkat kepedulian yang tinggi dimasyarakat dengan mendirikan The Habibie Center di Jakarta, mengarang beberapa buku tentang Indonesia dan menulis memoar perjalanan hidupnya. Tiga bulan pascaisterinya meninggal, Hasri Ainun ia telah merampungkan buku yang berkisah tentang perjalanan cinta mereka sampai salah satu menutup mata. Sungguh, kita berharap akan tumbuh ilmuwan-ilmuwan baru yang mengenal sastra dan para sastrawan yang berilmu. Amin ya Rabb!

Sastra untuk sastra, pengarang hanyalah nama, hanya sebuah kompilasi alfabet yang membentuk kata yang terketik dicover buku. hanya sebatas itukah kehidupan seorang pengarang? mungkin ia sudah mati ketika para pembaca selesai merampungkan cerita yang ia tulis.

Ini yang ingin ditekankan oleh Pak Gong dan Kang Agus, kita para penggerak literasi mempunyai tugas mulia, selain menambah wawasan pembaca dengan tulisan kita juga berfungsi sebagai mentor bagi mereka untuk berkarya dalam bentuk tulisan.

Tulisan itu hanya kumpulan dari beberapa tulisan, rangkumana dari beberapa buku yang diramu oleh otak kita yang memiliki daya pikir yang terus diasah terus menerus berbarengan ketika mata ini melihat tulisan, otak merespon dan hati yang membahasakan dengan bahasa. Ketika ingin menyentuh hati seseorang, gunakan hati kita untuk menyapanya. Dari hati ke hati, itulah jati diri dari para penulis yang menganggap sastra itu memiliki ruh yang bisa menggerakkan hati karena hati, bukan sekedar sastra untuk sastra yang kemudian bermuara pada materi semata. Jadi apa susahnya menulis? Ini pertanyaan besar yang harus dijawab. Kenapa bisa ada pengarang yang bisa duduk dimeja seminar, workshop dan bedah buku sementara kita masih disini, duduk mengetik didepan layar persegi?

Banyak penulis yang asyik dengan dunianya, bila penulis ia asyik saja merangkai dua puluh enam kata itu menjadi kalimat, kalimat menjadi paragraph hingga menjadi karya. Sungguh dunia ini luas untuk dijelajahi, sungguh masyarakat Indonesia ini sangat beragam untuk didampingi. Merubah masyarakat belum cukup hanya dengan sebuah tulisan, tulisan hanya kata-kata yang menggugah, tetapi tindakan itu yang akan menjadi perubahan besar. Saatnya para pengarang kembali menggugah masyarakat dengan karyanya, mencerdaskan masyarakat dengan budaya baca tulis. Ini tanggung jawab kita semua sebagai insan sastra dan para stakeholder yang peduli. 

Kepedulian, itu yang tidak ada dalam dunia ini. sebuah dunia yang menjadi gerbang perbuahan yang menjadi pondasi kokoh suatu peradaban. Apa artinya jika para penulisnya hanya berorientasi dengan pada karya, sedangkan filosofi dari ia berkarya ia abaikan, melanggar "kode etik" dunia sastra. Benar jika ada yang bilang sastra adalah sastra, masalahnya sastra mana yang tidak mengajarkan kepedulian kepada sesama? 

Jika pengarang sudah mati, mati pula kepeduliannya. Rasa empati tidak mau tumbuh ditempat sampah, pemukiman kumuh dan komunitas orang-orang pinggiran.


2 komentar:

  1. pak Gong tuh siapa sih kak? hehe

    BalasHapus
  2. Pak Gong itu bisa dikatakan 'Begawan' sastra di FLP. Konon para pendri FLP itu belajar sastra dari Pak Gol A Gong, Asma Nadia, Helvy Tiana Rosa dll.

    sudah banyak karya yg dia hasilkan, baik novel, tulisan non-fiksi, skenario film maupun sinetron dan masih banyak lagi... tetapi yang paling mengesankan adalah semua karya itu ia tulis dengan satu tangan, beliau itu ibarat pendekar "yoko" Rajawali yang sakti sejak lengan kirinya buntung.

    Syifa harus tetap semangat menulis, kedua tangan Syifa masih sempurna. Tapi... kemarin itu sayang banget ya gak bisa ikutan... hehehee

    mungkin lain kali, insyaallah bulan maret minggu depan, pak Gol A Gong akan ke Semarang. dia mau riset untuk novelnya. Pasti ada waktu untuk FLP Semarang tentunya.

    BalasHapus