Minggu, 23
Oktober 2011
Pagi
yangcerah ketika malam hai Semarang diguyur hujan, rintik-rintik air jatuh
ketika awan tidak kuat lagi menampung beban yang memberatkannnya. Ketika rapat rapat kerja da pelantikan
pengurus FLP Semarang akan digelar pagi ini. tepat 7.30 dari waktu yang
dijadwalkan, aku menggelindingkan roda kendaraanku menuju masjid alhuda di
Perumda Tembalang baru, persis berseberangan jalan dengan kampus Politeknik
Negeri Semarang.
Acara
pada pagi hari ini adalah rapat kerja dan pelantikan pengurus FLP Semarang
2011-2013, akan dilantik langsung oleh mbak Afifah Afra aka Yeni Mulati, S.Si
selaku ketua FLP Wilayah Jawa Tengah.
Kegiatannya
berlangsung seru, khidmat dan penuh barakah, insyaallah. Acara berakhir pada
pukul 11.30 WIB.
Siang
sehabis Zhuhur di Masjid Al-Huda di Perumda Tembalang Baru. Hujan turun
membasahi permukaan bumi yang sejak lama tidak ia sambangi. Kami Adisaputra
Nazhar, Syah Aziz, Roh Agung, Bambang Setyawan, Titi Rohmah, Siti Muawanah,
Ropiq Hidayat, Caswitin Arif Mahruz, Syifa Azmy, dan Asep ketika itu harus
terjebak hujan dan menunggu sekian lama hingga hujan ini reda. Ada yang aneh
dengan hujan kali ini, jika melihat jauh ke timur dimana tujuan kami kesana
begitu terang, awan putih pekat menyelubungi sebagian Kota Semarang, tetapi di
Tembalang hujan dengan awan hitam legam.
“Hallo
akh,” kata Agung dalam panggilan telpon, ia menelpon “sesuatu” untuk menanyakan
“sesuatu”. “Di Pucang Gading hujan kah?”
Meski
langit kini mendung hitam hujan kian deras, tetapi karuan saja wajah akh Agung
jadi cerah. “Di Genuk, Kali Gawe sana tidak hujan,” begitu katanya dengan
merona. Hehehee...
“Ya
sudah ayo lekas, pakai jas hujannya. Kita berangkat, nanti dijalan juga reda
sendiri,” begitu kata Syah Aziz ketua FLP Semarang yang baru dilantik, asupan
semangat karena telah dibait tadi masih ditunjukkannya meski hujan.
Aku
berdiri dibawah guyuran hujan, teman-teman yang lain berteduh hanya aku yang
hujan-hujanan dengan memakai jas hujan lengkap, disana juga ada ukhti wiwik
yang memakai payung. “Ada-ada saja orang satu ini, ternyata sudah sedia payung
sebelum hujan, tetapi kalau naik motor? payung mah gak ada gunanya Neng,” gumamku
dalam hati.
Ketika
semua telah siap berangkat dan niat sudah terpatri dalam hati, sepertinya hati
kami akan berteriak, “BERANGKAATTTT!!!!”. Motor sudah di-starter, mesin kini menggebu-gebu sudah ingin melangkh. Dan....na
layau! Hujannya reda, haruskah aku bersyukur untuk keadaan ini? ya sudah,
lupakan. Kita berangkat!
Tujuh
motor melaju meninggalkan “pos” menuju stasiun pompa bensin terdekat. Maklum,
meski hari mendung gini, motor kami lagi “haus” minta diisi bensin. Hehehee.... Ketika akan menuju pom bensin, Wawan dan Asep pamit untuk berangkat
duluan karena harus mampir dikos teman mereka, janjinya adalah kita bertemu
lagi di simpang tujuh Kudus.
Kini
tinggal enam motor berjalan beriringan dengan tujuan Kota Kretek demi memenuhi
undangan dari mantan 'perjaka ting-ting' sekaligus mantan ketua FLP Semarang, akh
Ali Margosim.
Rintangan
pertama yang harus kami lalui adalah turunan terjal Sigar Bencah dengan badan
jalan yang bergelombang setelah itu melewati jalan sempit ditepi jurang yang
curam dengan tebing terjal diatasnya (#lebayy.com). Lepas dari sana, perjalanan
kini membelah daerah perumahan yang memang berjubel disana. Daerah Meteseh,
Kedung Mundu, Ketileng dan Klipang memang diperuntukkan sebagai lokasi
pemukiman. Dipertigaan didepan SLB Semarang, ada kecelakaan tunggal dimana dua
orang remaja putri terjatuh setelah melewati jalan licin habis hujan. Akh Aziz
yang ada dibarisan depan mencoba untuk menolong kedua remaja itu, tetapi
kucegah dan meminta agar semua kembali melanjutkan perjalanan. Sudah ada yang
dua orang pria yang menolong mereka, lagipula RSUD dekat dari lokasi tersebut.
Masalahnya kita sedang berpacu dengan waktu untuk secepatnya sampai Kudus,
menurut prediksiku perjalanan ini akan memakan waktu dua jam kedepan.
Laju menderu membelah jalan-jalan aspal yang
basah, dua tiga kelokan tajam kami sudah sampai di RSUD Ketileng. Suhu dijalan
kala itu bikin gerah para pengemudi. Aspal yang terpanggang panasnya matahari
selama enam jam, kalau tidak salah suhu aspal itu mencapai 70˚ C saat panas
terik (kata dosenku sih gitu, terserah pembaca mau percaya atau tidak, kalau
saya sih percaya saja, kalau tidak ya alamat bakal jeblok nilai ujianku).
Kembali ke aspal (bukan “asli apa palsu” atau abal-abal, ini kita bahas aspal
jalan raya). Ok dilanjut, ketika hujan menerpa bumi dan membasahi jalanan, maka
udara panas akan terpancar keluar dari aspal jalan, inilah penjelasan ilmiahnya
dan juga sifat dari batu alam adalah lambat menyerap panas dan lambat juga
melepaskan panas, kira-kria berbanding terbaliklah dengan aluminium dan
tembaga.
Kenapa
ini jadi malah membahas aspal jalan? ok simak baik-baik kisah selanjutnya.
Beberapa
meter dari RSUD sampai di pertigaan Kedung Mundu, kami memilih jalan lurus. Aku
sebagai penunjuk jalan, memimpin rekan-rekan melintasi jalan Fatmawati sampai
di ujung jalan jalan besar yang mengarah ke Purwodadi. Dari pertigaan itu,
kemudi stang kuarahkan ke kiri, menunggu lampu lalu lintas menyala hijau
kemudian berbelok kekanan melintasi Jalan Arteri Soekarno Hatta, jika terus
ditelusuri jalan ini akan mengelilingi Kota Semarang dari arah utara dan
berakhir di Bundaran dekat Indraprasta. Tetapi tujuan kami bukan kesana, hanya
dua ratus meter kedepan kami berbelok, kulirik di plank hijau diatas tertulis “GENUK” kemudian ada tanda panah ke
kanan. Kukira hanya sekejap saja kami merasakan halusnya jalanan empat lajur
dan dua jalur dengan terdapat median jalan ditengahnya.
Setelah
pertigaan dari Jalan Arteri tadi, kini kami menyusuri jalan kecil, tapi
tidaklah layak disebut sempit. Jalan terdapat dua lajur tanpa median jalan
tersebut kurasa sudah layak jika dibandingkan dengan jalan lintas provinsi di
Sumatera. Bangetayu, begitulah nama kelurahan dimana kami berada sekarang.
Kini
hujan turun lagi, lampu sein kunyalakan sebagai tanda aku akan menepikan
tungganganku. Kulirik lima motor dibelakangku juga turut melakukan hal yang
sama, menepi untuk memakai kembali jas hujan yang telah dilepas. Gerah...,
siapa yang tahan?!
Tidak
membutuhkan waktu lama bagiku untuk mengenakan kembali jas hujan, hanya bajunya
saja karena celananya masih kukenakan. Oh ya, ada yang lucu jika membahas jas
hujan, akh Isnadi teman seperjalananku yang bertindak sebagai goncenger, nebeng atau apalah, yang penting dia bukan penumpang (secara gitu
lho, ane bukan supirnya kale...).
Apa
sih yang lucu?
Gini
gue ceritaian, kita flash back dulu
ke belakang, sesaat sebelum berangkat. Akh Isnadi ini dapat pinjaman rain coat dari ukhti Muawannah, karena
cuma satu, jadi dibagi dua bersama Syifa. Nah Syifa karena perempuan dapetnya rain coat bagian rok, sedangkan bajunya
ada di akh Isnadi.
Jrengg!!
Ketika
jas itu hendak dipakai, wah ternyata sobek-sobek dan tidak layak pakai sama
sekali, tetapi terpaksa dipakai, daripada basah? Gimana, pilihannya tidak
banyak, hujan ketika itu turun deras sekali. Akhirnya akh Isnadi berpakaian
“gembel” itu ikut membonceng di belakangku, tapi hanya beberapa jenak
saja ia mengenakan “pakaian kebesarannya” itu, (ini bukan pakaian kebesaran
seperti punya Raja, tetapi sobeknya itu lho yang kebesaraan, hahahaaa... piss
akh Isnadi) kini sudah dilepas.
“Kenapa
dilepas akh?” tanyaku.
“Panas,”
begitu jawabnya ngeles, tetapi aku
tahu maksudnya, tetapi ini rahasia kita berdua ya akh.
Tadi
ceritanya sudah sampai mana?
Oh ya di Kelurahan Bangetayu sedang hujan.
Oh ya di Kelurahan Bangetayu sedang hujan.
Singkat saja, aku sudah mengenakan jas hujan kembali. Perseneling sudah kumasukkan ke gigi satu, motor kugas untuk siap melaju. Tetapi.... aku iba akan sesuatu, akh isandi tidak mengenakan apa-apa untuk berlindung dari gempuran hujan ini, kulihat ada jas hujan nganggur dimotorku.
“Pake
jas hujan akh?” tawarku sembari menggodanya.
“Gak
usah,” katanya cepat langsung tanggap.
" Nanti basah bagaimana?"
"Ah, sudah biarkan saja."
" Nanti basah bagaimana?"
"Ah, sudah biarkan saja."
Tak
sempat kulihat ekspresi wajahnya waktu itu, tetapi dari intonasi suaranya saja
sudah membuatku geli. Kali aku harus menahan tawa, tetapi sedari tadi aku
menahannya, kapan mau tertawa kalau begini?? Ya sudahlah, hujan pasti akan reda
akh, gumamku dalam hati. Saran ana, antum berdendang lagu dangdut saja sepanjang
perjalanan kita, “.... baju satu
kering dibadan....”.
Supra
X-125D tungganganku dengan no.pol. BE 6353 MF kembali memimpin perjalanan,
aku ada dibarisan depan lagi,hahahaa... teman-teman telah jauh tertinggal. “Pakai jas hujan apa
mau kondangan mbak? kok gitu lamanya,” gerutuku dalam hati. Bila ditelaah ulang dan dipikir lagi secara matang, wajar jika mereka lama, lupa kalau kita ini sedang berangkat kondangan? Eh tapi,
tunggu-tunggu... masa pake jas hujan saja harus dandan? ah, what ever.
Bangetayu....
sesaat nama itu mengganggu konsentrasiku berkendara.
“Rumah
ust. Anif itu ada didekat sini,” kata akh Isnadi sesaat sebelum roda
kendaraanku menggelinding menyusuri jembatan layang yang melintasi jalan rel
kereta api.
Iya
benar, pantas aku seperti tidak asing dengan nama kelurahan ini, ternyata kami
sedang melintas di kampung halaman senior kami di FLP, Habiburahman el Shirazy.
“Rumahnya
belok kiri sebelum jembatan,” tambahnya lagi.
“Antum
pernah ke rumah beliau akh?”
“Pernah
beberapa kali.”
Melintas
diatas jembatan layang, menapaki ketinggian, dalam rinai hujan sekilas rona
mataku menangkap pemandangan sudut Kota Semarang yang padat oleh pemukiman disepanjang
bantalan rel kereta. Jika hari cerah, laut biru dapat terlihat jelas dari atas
jembatan ini.
“Akh,
sebentar... ada sms dari ukhti Mua,” kata akh Isnadi seraya menepuk pundakku
perlahan.
Sosok
yang dimaksud akh Isnadi itu adalah Siti Muawannah. Biasanya nama panggilan itu
ada di nama depan, tetapi Ibu Ketua Ranting Ngaliyan ini akrab dipanggil “Mua”,
dia sepertinya nyaman dengan panggilan tersebut. Khusus untuk anak-anak FLP, ia
“haramkan” memanggil dengan panggilan “Siti”, yang jadi masalah itu ada di
Ikhwan. Pernah nama itu ditambahi oleh akh Aziz dkk, menjadi “Siti Kusnari”.
Setiap orang yang mendengar nama itu untuk pertama kalinya pasti tidak akan merasa janggal, tetapi jika ditelaah lebih jauh dengan metode frase, dua kata itu seperti
ber-homonim, (maaf ini bukan lebay). “Siti Kusnari”
akan sama penyebutannya tetapi berbeda makna jika ditulis,” Si
tiKus nari”. (Piss ah untuk ukhti Siti, ups! Salah... ukhti Mua).
“Apa
katanya?” tanyaku sambil melepas gas motor dan laju kendaraanku mulai melambat
“Katanya
mereka ketinggalan jauh.”
“Bisanya?”
“Gak
tahu, lebih kita tunggu saja.”
Aku
menyanggupi, motor kutepikan ketika telah melewati sebuah dua buah tikungan
zig-zag, berbahaya menghentikan kendaraan di jalan menikung. Bila kita berhenti ditikungan, dikhawatirkan
akan terserempet oleh kendaraan lain yang melintas, ini akibat pengarauh gaya
sentrifugal yang dihasilkan kendaraan ketika berbelok arah. Biasanya arah laju
kendaraan tidak bisa sepenuhnya dibawah kendali si pengemudi, karena ada gaya
luar yang bekerja. (Nah kalau bingung dengan apa itu gaya sentrifugal, coba
buka-buka lagi buku fisika SMA atau search di google ya.)
Sejenak
menunggu, akh Aziz melintas dengan senyum yang sumringah, meski memakai helm,
ia tidak lalai dengan ciri khasnya ini, tersenyum walau lucu karena yang terlihat hanya giginya, sebagian mukanya tertutup pekat kaca helmnya. “Tin..tin!” ia ngebel sebegai isyarat,
kami melambaikan tangan memintanya untuk terus melanjutkan perjalanan.
Hanya
selisih tiga motor, menyusul Beat hitam dengan plat R. Ukhti Totti sedang asyik memacu tunggangannya meliuk-liuk dipadatnya lalu lintas. Syifa
yang menyadari kehadiran kami, gak tahu si Totti melihat kami atau tidak yang
jelas ia tidak sedikitpun memperlambat laju motornya ketika melintas persis
dibatang hidungku.
Terpaut
jarak yang cukup jauh dari rombongan Aziz, Ropiq sudah terlihat dari balik
tikungan, lalu menyusul pasangan “emas” akh Mahrus dan akh Agung. Dua orang ini
bisa dibilang pasangan yang kontroversial, cara berbocengannya itu lho yang
bikin gak tahan, mana tahan?
Dua
motor sudah melintas, selang berapa menit, tidak jua ada tanda-tanda kehadiran
Revo hitam plat AA yang membawa ukhti Mua dan si Wiwik. Lama menunggu tidak jua
tiba, lama menggerutu pun tiada gunanya, mau menyalakan cerutu tetapi haram
hukumnya, lalu mau apa?
Beberapa
meter lagi memasuki jalur Pantura, itu artinya perjalanan luar kota segera
dimulai, tetapi kapan? Dua makhluk yang meminta dinanti ini tidak juga hadir
disini.
“
Kok adoh men kacek’e?” akhirnya ada juga teman yang menemani menggerutu.
Lama,
lama, lama.... nunggu, menunggu, menanti... kok lama ya? haduch....pusing.
.....
Akhirnya
yang dinanti pun akhirnya kembali, Revo hitam plat AA membawa dua akhwat yang
berkacamata namun sedang berkamuflase tiba juga. Mereka sampai, melintas
dihadapan kami, lalu dipersilahkan mendahului, (kalau ditaruh belakang lagi,
mesti akan tercecer lagi, saya berani garansi!).
Perjalanan
dilanjutkan, jarak tempuh perjalanan masih 50 km lagi. Jarak yang lumayan jauh.
Tiga motor melaju berjama’ah menuju batas kota dimana rombongan yang lain
tengah menunggu kami disana. Saya dan Isnadi, Ukhti Mua dan Wiwik kemudian si
pasangan “emas”, yang ternyata ikut pula menanti dua makhluk yang tercecer
tersebut tetapi dilain tempat, berselisih jarak beberapa meter dari tempatku
menunggu.
Langit
hitam menggantung dibatas kota, mega-mega tebal menyelimuti suka duka diperjalanan. Perjalanan baru akan dimulai, melibas angkernya medan jalan
yang dihuni truk-truk tronton dan teman sejenisnya. Hujan mulai reda dan cuaca sangat mendukung kala itu.
Bagi
para musafir, mereka merasakan perjalanan ini terasa sangat singkat. Seperti
halnya hidup didunia, sekedar mampir
untuk minum. Teruntuk bagi penulis, mereka tidak bisa melihat akhir dari perjalanan. Ia hidup di dunia, sekedar mampir dan menyediakan minum.
Bersambung....
Bersambung....
awalnya aku gag dapet rok jas hujan kok kak.. malah aku pake jas hujan 'gembel' yang gag jadi dipake kak Isna. lupa roknya dipake siapa ya..
BalasHapusmau donk ke rumahnya Kang Abik...
urang bayang kah bang? di semarang?
BalasHapusiya, tapi sya bukan orang semarang
BalasHapus