Sering
dan ini kerap terjadi dihari-hariku dalam bulan-bulan ini, pagi aku harus
berangkat kerja, pulang bila senja telah menjelang. Pagi hingga tengah hari aku
di proyek dan selepas sholat zhuhur biasanya aku langsung meluncur untuk
mengikuti kuliahku. Melelahkan namun juga menyenangkan.
Ada
yang menarik dari kisah para tukang-tukangku.
“Bisa
lembur sampai malam pak? Kira-kira sampai jam Sembilan atau sepuluh malam,
mulainya jam tujuh pagi saja. Gimana?” Begitu tawaranku kepada mereka untuk
mengejar defisit progress diproyek.
“Wah,
gimana ya Mas. Waktunya itu lho yang gak ada,” sahut salah satu dari mereka.
“Ada
acara apa pak kalau malam?”
“Ya
gak ada acara sih mas, tapi....”
“Tapi
apa?”
“Gini, pagi-pagi jam setelah sholat subuh itu langsung berangkat ke kebun atau
sawah, menyiangi rumput atau sekedar menengok. Jam tujuh sudah dirumah,
kemudian sarapan dan berangkat kerja ke proyek, pulang sampai rumah jam lima.
Biasanya kalau gak undangan dari warga, waktu malam untuk kumpul bareng
keluarga.”
“Ya,
ya,” aku bisa maklum, aku sadar aku tidak sedang berhadapan dengan seorang
tukang, tetapi ia juga petani, ayah dan suami.
Kurasa
hidup memang begini, menjadi lelaki inilah yang harus kuhadapi, mau tidak mau
ini menjadi takdir bagi “laki-laki sejati” menurutku. Dalam benakku dan ini
banyak dipengaruhi oleh para ustadz dan murobbi yang menginspirasiku, aku
melihat “lelaki sejati” itu tidak menjadi satu bagian utuh, yang hanya memiki fungsi tunggal dalam
hidupnya.
Mereka
juga manusia, tetapi memiliki peran yang luar biasa dan itu tidak cuma satu
atau dua saja, tetapi lebih dari itu. terkadang mereka bertindak sebagai guru
jika dalam majelis pengajian, sebagai saudagar atau pengusaha dalam dunia
kerja, menjadi seorang ayah dan suami yang peduli pada keluarga, berperan aktif
di lingkungannya dan bertindak sebagai tokoh masyarakat, di keluarga besarnya
ia juga berperan sebagai anak, kakak, kakek atau adik dan lain sebagainya.
Berkaca
pada hidupku sekarang, rasanya belum apa-apa. Disini aku masih bertindak
sebagai kuli karena aku berkerja, terdaftar sebagai mahasiswa tingkat akhir di
Undip, menjadi pengurus disalah satu organisasi dan menjadi seorang abang bagi
adikku. Rasanya masih banyak yang kurang dalam peranku sekarang ini, jadi tidak
ada alasaan untuk sibuk bagiku. “Semua bisa diperjuangkan”, begini kira-kira
ungkapan yang cocok .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar