Indonesia
berpotensi menjadi lumbung pangan dunia, dengan lahan pertanian yang subur
membentang dari sabang sampai merauke, matahari yang bersinar sepanjang tahun
dan garis pantai terpanjang kedua didunia serta potensi laut yang kaya. Ketersediaan
sumber daya alam yang memadai bukanlah secara otomatis ketahanan pangan
nasional akan terpenuhi, tetapi harus ada phak-pihak yang berperan dalam
mengelola potensi tersebut.
Birokrasi
yang melahirkan regulasi dan stakeholder yang menyediakan fasilitas dan
infrastruktur belumlah cukup, harus ada orang-orang terpelajar yang terjun
langsung di lapangan. Suatu kebijakan, sebaik apapun kebijakan yang dikeluarkan
untuk mendukung program pangan nasional akan mental di grass root, seperti contoh: keberhasilan program swasembada pangan
beras 2009, produksi beras nasional melampaui kebutuhan pokok nasional,
sehingga keran ekspor terbuka lebar. Apakah para petani kita ikut menikmati atas
keberhasilan program tersebut? Tidak, taraf hidup mereka tidak jauh berubah.
Petani
kita butuh seorang pendamping sekaligus mentor yang membimbing mereka, baik
dalam proses produksi maupun nanti setelah pengolahan pascapanen. Para petani di
Indonesia bukanlah orang miskin, mereka hanyalah orang-orang yang mayoritas
tidak bisa mengelola kekayaannya. Bisa dikatakan para petani kita lemah dalam
manajemen, sehingga pengelolaan hasil panen tidak maksimal. Sering pula mereka
ditipu oleh tengkulak karena ketidaktahuan mereka dalam dunia marketing dan
pemasaaran. Para “mafia” itu pintar memainkan harga pasar sehingga mencekik
petani saat panen tiba.
Hal
yang membuat para sarjana “malas” untuk terjun ke sawah dan babat alas untuk membuka lahan adalah
ketika berhadapan dengan stigma masyarakat. “Sekolah tinggi-tinggi, kok ya jadi
petani to nak?” Inilah problem sekaligus dilemma bagi para sarjana, sepertinya
pekerjaan petani hanya teruntuk bagi orang-orang yang tidak sekolah atau
bersekolah rendah, para sarjana haruslah jadi orang gajian saja (baca: pegawai).
Ingin
rasa saya berteriak untuk menantang stigma negatif masyarakat itu, “Indonesia
ini gak maju-maju karena petaninya gak sekolah, mau aja ditipu orang lain.”
Atau, “Bapak harusnya sekolah dulu baru jadi petani, supaya jadi kaya raya seperti
Mister petani di Amerika.”
Petani sejahtera, Indonesia Jaya!
Semboyan
itu menjadi motto dari kementerian Pertanian RI, Prabowo Subiyanti dan Bob
Sadino juga mengemukakan hal itu. Indonesia dikenal dari masa ke masa sebagai
Negara agararis, dimana pertanian menjadi tulang punggung utama dan maritime
sebagai pelengkap. Ada tiga pekerjaan orang-orang melayu yang begitu disegani
bangsa asing; petani, nelayan dan perompak (Marsden, William 1783 M).
Sayang,
potensi ini tidak menjadi menu utama untuk santapan mencari nafkah dewasa ini.
Indonesia seperti dipaksakan menjadi Negara industri dan menjadi seorang
enterpreneurs begitu seksi dikalangan
mahasiswa. Kebijakan pemerintah dan program kampus cenderung menjadikan
semangat wirausaha sebagai solusi untuk mengatasi ketimpangan antara jumlah
angkatan kerja dengan ketersediaan lapangan pekerjaan. Bukannya pesimis
Indonesia bisa menjadi Negara Industri, tetapi Negara ini belum siap,
pondasinya masih sangat rapuh.
Jika
saja bangsa Indonesia mengalami revolusi layaknya Revolusi Industri di Inggris
pada abad ke XVIII, saya yakin Indonesia pasti Indonesia akan selalu bergantung
pada Negara lain. Kedelai, jagung dan daging kita masih impor, lalu darimana
kita mendapatkan bahan baku untuk Industri?
Hal
yang sangat kontradiktif adalah para pengusaha Indonesia, baik melalui Kamar
Dagang dan Industri (Kadin) maupun asosiasi lain selalu mengajak para kawula
muda untuk berwirausaha, jadilah pengusaha (non-agraris) setelah lulus nanti.
Seminar-seminar tentang kewirausahaan begitu marak di perguruan tinggi bak
cendawan dimusim penghujan. Para pengusaha-pengusaha itu sampai rela
menyempatkan waktunya untuk road show
ke kampus-kampus. Sebagai seorang agent
of change, mahasiswa adalah orang-orang terpelajar yang katanya kritis itu
kenapa tidak timbul pertanyaan dibenaknya. Kenapa?
Sepuluh
besar orang terkaya di Indonesia adalah orang-orang yang bergerak dibidang
pertanian tetapi Industri mereka ada. Seperti perusahaan Rokok, mereka
berkecimpung dalam pertanian tembakau dalam skala besar. Sinarmas Group
ternyata juga memiliki perkebunan berhektar-hektar. Pengusaha “Sugar Group
Company”, bergerak dalam pertanian tebu. Bakrie Group juga bergerak di bidang
pertanian.
Apa
artinya ini?
Para
pengusaha itu menjadi kaya memang karena industri, tetapi yang menjadi periuk
nasi mereka adalah produksi pertanian domestik. Sebagai contoh, rokok menjadi
industri sejak melimpahnya stok tembakau karena program culture stelsel (tanam paksa) dari pemerintah Belanda. Tembakau
mentah bejibun diekspor penjajah ke Negara lain. Karena banjirnya bahan baku
didalam negeri, inilah start awal kemudian
timbul inisiatif dari para boemipoetra untuk menangkap peluang dengan membuka
industri rokok domestic, kemudian lahirlah perusahaan-perusahaan rokok seperti
Djarum, Gudang Garam, Sukun, Sampoerna dan lain-lain.
Jadi
manakah yang harus didahulukan, pertanian atau industri?
Revolusi Industri di Inggris
Belajar
dari revolusi Industri di Inggris, paradigma yang muncul dibenak kita adalah
revolusi pengolahan bahan mentah menjadi bahan jadi setelah ditemukan mesin uap
oleh James Watt. Dari keberhasilan inggris membuat terobosan, mengganti tenaga
manusia menjadi tenaga mesin sehingga produksi industry meningkat tajam.
Adakah
dari kita yang berpikir bahwa “mesin uap”lah penyebab dari kebangkitan
Industri? Mungkin sebagian besar dari kita menjawa, “ya”.
Saya
katakan mesin uap hanya akibat bukan sebab, disebabkan dari membanjirnya stok bahan
mentah pertanian. Kita tahu pada masa itu Kerajaan Protestan Anglikan Inggris
mempunyai tanah jajahan terluas pada jaman kolonialisme. Semua tanah jajahan
dijadikan basis pertanian, mereka selaku pemegang otoritas tertinggi
mengendalikan kran eksport-import. Hingga pada suatu masa, dimana kebutuhan
manusia kian meningkat dan bahan mentah itu dituntut untuk diolah menjadi
barang jadi agar bernilai tinggi, menguntungkan dan bisa tahan lama, tidak
cepat rusak.
Saat
itulah ilmuwan-ilmuwan Inggris dipaksa untuk menjadi solusi dari masalah ini,
hingga pada akhirnya James Watt muncul sebagai “pahlawan” untuk menjawab
problema tersebut. Mesin uap menjadi awal perubahan sosial masyarakat dunia,
seiring dengan perkembangan teknologi mesin produksi, insutri menjadi merajai
dunia.
Belajar
dari sejarah inilah, sudah seharusnya para ilmuwan-ilmuwan Indonesia fokus pada
tekonologi tepat guna. Jarang ada ilmuwan yang menciptakan alat pertanian
modern seperti di Negara-Negara maju. Kita tunggu saja, apakah ada “James Watt”
baru muncul di Indonesia? sehingga nanti ada revolusi pertanian di Indonesia, semoga saja.
Kementerian
Riset dan Teknologi Republik Indonesia melalui LIPI memiliki program
bio-teknologi untuk pertanian. Penelitian rekayasa genetik itu telah
menghasilkan varietas baru, yang
lebih unggul dari varietas sebelumnya. Akan tetapi produk itu masih tekendala
birokrasi, butuh sosialisasi intensif ke para petani agar mau memakai produk
dari LIPI. Seandainya saja para petani kita didominasi oleh orang-orang
terpelajar, mungkin sosialisasi itu tidak akan memakan waktu lama.
Indonesia menjadi Negara Industri
Indonsia
sangat berpotensi untuk menjadi Negara industri, pertumbuhan ekonomi tinggi,
angkatan kerja yang besar serta pangsa pasar yang luas dengan dua ratus empat
puluh juta jiwa lebih penduduk. Tetapi menjadi Negara industri itu menjadi
sangat “dipaksakan” apabila tidak diimbangi dengan semangat agraria dan bahari
yang menjadi daya tarik Indonesia pada masa lampau.
betul itu...seharusnya seorang sarjana juga harus mau terjun ke lapangan. Jangan cuma kerja dibalik meja saja alias pegawai
BalasHapustapi kalo aku disuruh terjun menjadi petani, aku sendiri akan bilang tidak. karena aku bisa memilih bidang yang memang sesuai dengan kemampuanku. kalaupun harus ke tani, mungkin aku bisa jadi manajernya saja :D
BalasHapussantai nona-nona... penulisnya juga gak bakal sanggup bila harus mencangkul disawah atau menggarap lahan. Tulisan ini mengajak para sarjana memberiaka perhatian lebih terhadap dunia agraria, baik agribisnis, agronomi, agroteknologi, agro wisata dan bioteknologi yang menjadi pilar utama bangsa Indonesia menghadapi kemungkinan krisis pangan 2020, diperkirakan siklus badai El-nino akan kembali menyambangi Nusantara.
BalasHapusJika kita kembalikan istilah "petani" menurut PBB adalah perseorangan yang memiliki lahan min 2 ha. dibawah 2 ha, bisa dikatakan "buruh tani" karena dengan lahan cuma segitu dia tidak sanggup memenuhi kebutuhan hidupnya.