Rabu, 20 April 2011

IMAJINASI DALAM KEHIDUPAN DIRI


Semua berawal dari imajinasi.

Inilah Indonesia, seratus tahun yang lalu tidak ada yang MENYADARI akan potensinya?



Memang, seratus tahun yang lalu orang-orang berpendidikan sangat jarang di negeri ini. Kegiatan baca-tulis sesuatu hal yang langka ditengah kebodohan bangsa yang selama 350 tahun dijajah. Jika sampai sekarang ini, 2011 artinya 66 tahun Indonesia merdeka, belum ada yang bisa menyadari potensi Indonesia hari ini dan masa yang akan datang, belum ada yang dapat membayangkan Indonesia kedepan seperti apa dan tidak seorangpun yang bisa merencanakan untuk hari esok. Inilah tanda dari matinya IMAJINASI.



Matinya imajinasi menjadi jalan suram nasib bangsa kedepan. Benar, itulah yang banyak dikhawatirkan oleh para budayawan Indonesia. peralihan budaya baca-tulis menjadi budaya audio-visual kian menggerus minat baca para kalangan. Budaya belanja buku digantikan oleh shopping di mall, budaya peran aktif dalam bedah buku makin tak terlihat minat para pemuda karena lebih senang datang ke konser-konser musik. Ini masalah, namun sedikit orang yang menyadari karena matinya imajinasi.


Sejarah selalu berubah, demikian pula budaya akan bergeser. Ketika dahulu bangsa ini diperjuangkan oleh tetesan darah para pahlawan, jika Indonesia merdeka yang ada dibenak mereka dapat membayangkan nasib Indonesia yang lebih baik tanpa penjajahan. MERDEKA!


Film, inilah salah satu yang ikut menggerus imajinasi. Bayangkan, tidak akan kita temui perintah untuk berimajinasi saat disuguhkan sebuah film, semua praktis ada didepan mata tinggal dinikmati, instan sekali bukan? tanpa susah payah memeras otak, memusingkan kepala hanya sekedar memvisualisasikan sebuah objek dalam benak, semua sudah tersaji indah. namun tak seindah yang dibayangkan. Imajinasi lebih indah daripada gambar visual nyata seindah apapun, karena ia bebas melanglang buana tanpa batas. Inilah kekuatan Imajinasi, apa banyak orang sadar akan potensinya?


Berbagai perangkat budaya audio visual semua mengekang imajinasi, kemampuan daya pikir otak ini berkurang. Buatlah sebuah perbandingan, jika kita menonton film selama 2 jam selesai, namun apa yang terjadi jika waktu dua jam itu digunakan untuk membaca sebuah novel, rata-rata kemamuan baca seseorang dalam 2 jam hanya dapat meraup 120 halaman. 120 halaman itu mungkin hanya sepertiga dari keseluruhan cerita, belum selesai. KENAPA? inilah imajinasi. Beda antara penonton dan pembaca adalah para penonton hanya menggunakan indera penglihatan dan pendengaran saja dan juga tidak berimajinasi sama sekali, sedangkan para pembaca ia menggunakan seluruh pancaindera untuk menangkap deskripsi yang ia baca, dari deskripsi tertulis itulah muncul IMAJINASI.


Saat masih bocah ingusan, saya ingat kerika itu yang saya gemari adalah membaca cerita bergambar. Pokoknya kalau ada gambarnya saya senang. Mengapa? ini karena saat usia-usia seperti itu daya imajinasi kita masih lemah, belum terasah maka harus dirangsang dengan ilustrasi-ilustrasi cerita bergambar. Sekarang pertanyaannya, apa yang membedakan antara daya pikir seorang bocah dan daya pikir orang dewasa? jawabnya adalah IMAJINASI.


Suatu saat nanti akan kita temui budaya turunan dari budaya audio-visual ini, yaitu budaya PRAGMATISME. Budaya ini mengajarkan kita pada kepraktisan, semua dinilai harus praktis, tidak ada ruang untuk berpikir dan berimajinasi kedepannya seperti apa. Ya, tanda-tanda itu telah nyata, sudah banyak contohnya namun belum bisa bangsa ini disebut bangsa yang pragmatisme. Masih ada waktu, dan kapal ini belum karam.  Sebelum badai datang mari, kita berupaya untuk membelokkan arah angin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar