Sabtu, 18 Mei 2013

BUDAYA POPULIS, "KOREAN WAVE" HINGGA OPERASI PLASTIK


Korean wave adalah ekspansi budaya yang dilancarkan pemerintah korea dalam rangka untuk menghegemoni kawasan. Budaya ini menjadi populer dimana-mana karena support dari pemerintah dan peran media yang besar tentunya. Bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga Malaysia, Filipina, Thailand, Jepang dll juga terkena demam yang sama. 

Pada tahun 2000 pemerintah Korea Selatan melalui kementerian budaya yang mengeluarkan "culture policy", suatu kebijakan yang berlandaskan pada budaya untuk mempromosikan produk negaranya, meningkatkan ekonomi kreatif dan membuka pasar baru. Merujuk kepada kata-kata bijak budayawan, "semua permasalahan akan selesai melalui budaya". Ya, Korea Selatan mencoba mengejawantahkan kata-kata itu, saya rasa mereka berhasil.

Budaya pop Korea sedang menerjang Indonesia. Lihat saja anak-anak muda yang sedang gandrung dengan aksi boyband/girlband, yang betul-betul asli meniru korea style. Anak-anak muda sekarang sangat tahu bagaimana artis dan penyanyi korea. Seperti Shi Min Chul, super junior Park Jung Min, The Boss, Girls  Generation, X5, N-Sonic dll

Berita heboh yang lagi hangat ini tentang photo sepuluh finalis Miss Korea Selatan ternyata mempunyai wajah yang sekilas sama, hanya beda pada gaya rambut. Operasi plastik ini yang dinilai buruk, karena kesepuluh finalis itu diduga telah melakukan operasi pada mata dan hidungnya. Inilah salah satu efek negatif gaya hidup populis.

Read More......

Karakter Ai

Bagi para penggemar serial Detective Conan, manga karya Aoyama Gosho ini sudah berumur 19 tahun sejak awal diterbitkan pada tahun 1994. Ada banyak karakter yang menarik di manga itu. Banyak para "fans" mengidolakan Shinichi Kudo dan Ran Mouri sebagai tokoh utama, tapi yang kita bincangkan disini ialah "fictional character" Ai Haibara alias Shiho Miyano. Pada awal kemunculan pada Book Vol. 18, tokoh ini sudah menarik hati saya. Pembawaan karakter dari Ai tidak seperti perempuan pada umumnya untuk gadis berusia 18 tahun. Dari gaya bicaranya yang khas dan dari caranya menatap lawan bicara, luar biasa memukau, wow, superb! Ini keunikan dari seorang Ai sebagai tokoh fiksi dan jarang kita temui perempuan dengan "gaya" seperti ini di dunia nyata.

Memahami karakter seseorang tak lepas dari menbaca latar masa lalu yang dihadapi sang tokoh. Shiho adalah putri seorang Ilmuwan "gila" yang sedang dipersiapkan organisasi sebagai "suksesor" Ayahnya yang telah dibunuh organisasi. Sebagian besar waktunya dihabiskan di laboratorium dan didepan layar komputer, mungkin karena itulah ia jadi pribadi yang pendiam dan dingin kepada siapa saja. Tapi melihat "style" nya dalam memilih pakaian, Ai termasuk perempuan yang modis dan sangat memperhatikan penampilannya. Sering terlihat ia membaca majalah-majalah mode. Dan seringnya ia berkata "puitis" dan sering mengutip kata-kata mutiara, bisa dibilan Ai menyukai sastra dan gemar berfilsafat.

Beberapa "quotes" dari tokoh Ai dalam dialog komik Detective Conan.

~Kalau aku lenyap bersama hujan di tempat hukuman mati seperti Mary, mungkin dia akan seperti anjing kesayangannya yang melemparkan diri ke sungai untuk mengejarku.

~Sembunyi dengan rasa takut karena mungkin suatu saat akan ditemukan sangat menyengsarakan...

~Sama saja seperti mesin penjual jus kaleng. Kau akan bisa melepaskan dahaga jika kau masukkan uangmu, tapi tanpa uang, kau tak akan mendapatkan apapun! Uang tak bisa membeli hati manusia...

~matahari senja, sampai kapan aku akan bertemu lagi dengan warna menyedihkan ini?

Read More......

Rabu, 16 Mei 2012

ISLAM bukan FUNDAMENTALIS


“Islam fundamental, kamu fundamentalis!”
Rasanya kata-kata itu luar biasa menyakiti jika saja ada yang berani menunjuk hidung kepadaku seraya mengacungkan telunjuk dan mengatakan demikian. Ada apa dengan fundamentalis sehingga harus dialamatkan kepada Islam? pada hakekatnya anatar fundamentalis dan Islam tidak ada kaitannya, ini sebuah pemaksaan makna yang salah jurusan sejak awalnya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, fundamentalis adalah penganut gerakan keagamaan yang kolot dan reaksioner yang merasa terancam oleh ajaran agama modern dan liberal sehingga merasa perlu kembali ke ajaran agama yang asli seperti yang tersurat dalam kitab suci.
Begitulah makna fundamentalis dalam kaidah bahasa, tetapi bisakah itu ditujukan kepada Islam? menyandingkan makna Fundamentalis dan Islam sama halnya dengan pemerintah Amerika mencoba menyandingkan teroris dan Islam, tidak akan bisa dua hal itu disandingkan bila dibedah dengan pisau sejarah pemikiran. Mungkin bisa dua hal itu disandingkan secara bahasa, wajar saja bisa karena dalam ragam bahasa ada teori penyempitan makna dan perluasan makna.
Bila kita telaah dalam sejarah pemikiran maka makna Fundamentalis ini meluas dari yang sempit pada awalnya. Istilah fundamentalis mulai dikenal sebagai antitesa dari gerakan modern pada zaman renaissance.
Terminologi modern adalah sekat zaman yang dilakukan Barat untuk menandai berakhirnya kekuasaan Gereja yang mengekang kebebasan berpikir atau menggunakan akal karena kitab suci mereka bertentangan dengan sains.
Jika mengacu pada makna fundamentalis dari KBBI, jelas bahwa fundamentalis adalah antitesa dari modern, dan modern antitesa dari klasik dalam kajian sejarah pemikiran. Dalam kaidah bahasa, pada dasarnya makna fundamentalis khusus untuk gerakan keagamaan yang menolak kebebasan untuk menentang dogma Gereja.
Jadi eras klasik, modern dan post-modern tidak berlaku untuk peradaban Islam, karena secara epistemologi Islam, akal diakui sebagai sumber pengetahuan yang valid disamping sumber pengetahuan lainya. Pemisahan antara ilmu akherat dan dunia tidak pernah terjadi dalam konteks keislaman, kedua berjalan selaras sampai datang pemikiran barat yang mengobrak-abrik pola pemikiran kaum muslimin. Sepertinya barat begitu trauma pada kekangan agama gereja sehingga ketika melihat Islam dari kacamata sekularisme sebagai penganut mazhab klasik yang harus diberantas.
Konsolidasi istilah fundamentalis datang bersamaan dengan masuknya keilmuan barat yang begitu superior mengindahkan nilai-nilai sehingga nilai-nilai Islam menjadi proyek pemberangusan selanjutnya. Dalam akulturasi ilmu pengetahuan barat, mereka menemui tembok tebal para cendekiawan muslim yang berusaha membendung arus liberalisasi pengaruh barat dalam ajaran Islam. Dari sinilah istilah fundamentalis dilabeli kepada para golongan ulama yang menentang pemahaman liberal dengan arus modernisasi, seolah ingin memukul rata golongan islam dengan kalangan gereja. Padahal Islam tidak mengenal periode modern, klasik dan semua itu hanyalah istilah barat yang terlalu dipaksakan kepada kaum muslimin
Terjadi perubahan pola yang digeneralisasi sampai babat alas oleh kalangan barat, fundamentalis yang awalnya adalah gerakan reaksionis dari kalangan gereja untuk mempertahankan status quo, kemudian berubah pola bahwa semua yang gerakan anti Barat langsung dicap sebagai fundamentalis. Pola sama juga diterapkan pada masalah teroris dan Islam. Sejarah dunia teror, mencatat dua kubu teroris terkenal dari Irlandia yang selalu berseteru atas nama agama mereka melakukan terror. Teroris di Kolombia adalah kartel narkoba yang selalu menebar terror dalam aksi perebutan lahan jual heroin, sabu dan obat bius lainnya.

Read More......

Selasa, 08 Mei 2012

NO COUNTRY FOR OLD MAN!


Seminar “Konsolidasi Indonesia” yang diadakan gerakan Beli Indonesia dan Persatuan Punawirawan Angkatan Darat (PP-AD) hari selasa 8 Mei 2012 di auditorium FISIP Universitas Diponegoro bak “perang bintang” karena menggadang Jenderal-Jenderal Orde Baru sebagai pembicara mendampingi Rektor Undip Prof. Sudarto dan Ir. Heppy Trenggono sebagai key-note speaker.
Acara ini kehilangan subtansinya, entah siapa menunggang siapa, apakah gerakan “Beli Indonesia” menunggangi PP-AD untuk menggagas acara yang dihadiri oleh akademisi, mahasiswa dan politikus atau jangan-jangan malah sebaliknya? Karena opini yang dimunculkan oleh keduanya saling berkontradiksi. Gerakan Beli Indonesia, Heppy Trenggono membawa misi untuk menumbuhkan mental mencintai produk anak bangsa, langkah action yang digagas sedangkan PP-AD masih berkutat pada wacana ideology kebangsaan.
Acara dibuka dengan pembacaan pledoi Soekarno dengan Indonesia menggugat, seperti ingin menghadirkan suasana orde lama ditengah seminar seorang tokoh mantan Rektor Universitas 17 Agustus Semarang membacakan teks dengan meniru gaya Soekarno. Suasana diruangan seperti sengaja disetting seperti diskusi orang-orang nasionalis dari Partai Nasional Indonesia (PNI) Soekarno. Selain purnawirawan TNI juga mengundang putri kandung Presiden Indonesia pertama yang juga ketua umum PNI, Sukmawati Soekarno. Orasi dibuka oleh rektor Undip kemudian dilanjutkan oleh kuliah umum tentang ideology kebangsaaan.

Letnan Jenderal TNI (Purn) Kiki Syahnakri yang pernah diduga sebagai aktor di kasus Liquisa, 12 Januari 1995 yang menelan korban sedikitnya 6 orang tewas dalam pembantaian ninja saat ia bertugas di Timor Timur ini mengutarakan ide mewakili PP-AD agar mengembalikan UUD 1945 sebelum amandemen tahun 2002 pascareformasi. Tujuan mereka satu yaitu menyelamatkan NKRI dari bahaya neo-kolonialisme dan liberalisme. Pancasila harus menjadi ideologi tunggal seperti pada zaman orde baru dan harus ada pasal subversif yang bisa menghukum bagi mereka penentang ideologi pancasila.

Diskusi tentang masalah ideologi seperti ini adalah diskusi yang kontra-produktif. Sebaiknya sudahi saja diskusi mempertentangkan antar ideologi dan biarlah itu menjadi sejarah romatika masa orde lama, dimana Indonesia tidak jua selesai membangun karena energi habis terkuras dalam wacana tanpa karya. Usaha Soekarno untuk menengahi "pertikaian" ini dengan politik nasakom-nya (Nasional, Agama dan Komunis) malah menjadi blunder kejatuhan rezimnya oleh TNI dan Mahasiswa saat peristiwa revolusi 1966.


Secara garis besar usulan PP-AD untuk menina-bobokan rakyat Indoensia ke masa lalu agar mendukung ide mengembalikan format MPR sebagai lembaga tertinggi Negara dengan komposisi keterwakilan antar etnis dan golongan bukan keterpilihan seperti sekarang ini. Mereka menjual Ideologi serta menjual kekhawatiran akan nasib NKRI jika tidak segera kembali pada pancasila dan UUD 18 Agustus 1945. Indonesia ada lebih dari 400 etnis, dan ini berpeluang untuk pecah menjadi beberapa Negara seperti Uni Soviet yang memiliki 125 etnis kemudian pecah menjadi 15 negara baru. Sungguh ini mencederai demokratisasi yang sedang kita bangun selama satu dasa warsa ini.


Akan tetapi untuk mewujudkan ideologi ini harus berhadapan dengan beberapa kubu tembok raksasa yaitu (1) Liberal dan neo-kolonialisme, (2) Oppurtunis / Pragmatis, (3) Fundamentalis Islam, dan (4) Gerakan kiri Baru (politik balas dendam) yang membahayakan Negara. Ini juga bertentangan dengan UUD pasal 28 tentang kebebasaan berserikat, berkumpul dan mengemukakan pendapat.

Saya ini langkah konyol jika kita mau menuruti kehendak para Jenderal pensiunan tersebut. Jelas ini gaya orde baru sekali, ide mereka ada turunan dari cara-cara Soeharto melanggengkan kekuasaannya yang bertahan sampai 32 tahun. Ketika Sukmawati Soekarno mendapatkan kesempatan untuk bersuara, ia menolak ide-ide gila ini karena akan mengembalikan momok TNI yang suka melanggar HAM. Ia mengatakan bahwa ia adalah saksi hidup bagaimana TNI melakukan pembantaian terhadap pribadi atau golongan tidak sefaham dengan Pancasila. Sayang hanya beliau yang berani melawan arus, yang lain hanya pembeo.
Mereka ingin mengangkangi semangat reformasi 1998 yang telah diperjuangkan mahasiswa dan rakyat miskin kota. Alasan mereka sebagai lip service adalah untuk menyelamatkan NKRI dari cengkeraman korporasi asing, ini perang generasi keempat, perang pemikiran. Dan itu semua harus diproteksi dengan Pancasila.

Sekilas kita pasti akan terlena oleh orasi ala militer para Jenderal ini, tetapi ada kepentingan yang lebih besar dari sekedar mengembalikan UUD 45 sebelum amandemen, itu cuma alat. Dan tujuan mereka sebenarnya ingin mengembalikan dwi fungsi ABRI sebagai alat politik dan militer. Format MPR dengan keterwakilan golongan, jelas nanti bakal ada keterwakilan TNI disana parlemen. Militer akan kembali berpolitik dan militer akan kembali berbisnis. Ini mencederasi reformasi supremasi sipil dan profesionalisme TNI sebagai alat perhananan Negara. Rupanya para Jenderal menginginkan “jatah pensiunan” yang tinggi dari yang sekarang ini didapat, kemana lagi mencari uang itu kecuali dengan berbisnis setelah menajamkan kuku politiknya di Senayan, seperi dalam tulisan George Junus Aditjondro yang dimuat dalam Jurnal Wacana, edisi 17. Tahun III, 2004, Negeri Tentara: Membongkar Politik Ekonomi Militer.

Lalu pemaksaan ideology tunggal Pancasila kepada 240 juta penduduk Indonesia, saya rasa itu mencederai semangat kebhinekaan kita. Mustahil untuk menyamakan pemikiran orang-orang perorang untuk menerima suatu fakta, walau benar sekalipun. Semua orang mempunyai persepsi masing-masing, seperti halnya juga dengan pancasila. Ada yang berpendapat Pancasila itu hanya sekedar nilai-nilai luhur, bukan ideologi karena sifat dari pancasila sangat mutitafsir dan dibenarkan pula oleh Soekarno sendiri, “kekuatan pancasila itu ada dalam multitafsirnya.” Jadi sah-sah saja jika pancasila ditafsirkan menjadi liberal atau komunis, semua bisa dilakukan karena ia bak air yang bisa menyesuaikan bentuk wadahnya.
Benarkah Pancasila menjadi benteng dari pemikiran Liberal, Pragmatis, fundamentalis Islam dan neo-komunis? Saya rasa tidak, jika Pancasila tetap dipertahanakan sebagai azas tunggal, maka NKRI tidak pecah menjadi Negara-Negara berdasarkan etnis tetapi menjadi Negara-Negara kontra-pancasila.
Sebagai penutup ide dan gagasananya Letjen (Purn) Kiki Syahnakri mengatakan, “old soldier never dies”. Tetapi saya lebih cocok jika diskusi kontra-produktif dengan purnawirawan TNI ini ditutup dengan seruan, “no country for old man.” 




Read More......

Senin, 30 April 2012

SASTRA DIATAS REALITA

Bila membaca sastra jaman pergerakan dari angkatan balai pustaka hingga anggkatan pujangga Baru kita akan menemukan model percintaan yang lain dan bertolak belakang realita sekarang. Sebuah potret percintaan dinovel-novel diawal abad XX itu bukanlah sebuah gambaran nyata dari struktur sosial masyarakat pada jaman itu, tetapi itu metafora dan simbol yang menunjukkan ideology si penulis.
Kita coba membedah roman “Siti Nurbaya” dan “Dibawah Lindungan Ka’bah”. Kisah yang tidak sesuai dengan konteks kekinian adalah gambaran tokoh Syamsul Bahri, sampai mati ia tidak pernah sudi melepaskan kekasihnya Siti Nurbaya dipersunting Datuk Maringgih, beragam cara ia lakukan hingga ia menemui ajalnya karena kegigihannya merebut Siti Nurbaya.  Meski Siti Nurbaya sudah berstatus istri orang tidak menyurutkan cintanya, ia tetap teguh pada cintanya pada Siti hingga ajal menjemputnya.
Sama halnya dengan Zainab, sampai ajal menjemputnya ia tetap menanti Hamid, pemuda desa yang telah pergi tanpa diketahui keberadaannya. Di roman itu Zainab begitu yakin bahwa Hamid akan datang suatu hari nanti untuk menjemputnya, karena keyakinan itu ia terus menolak lamaran keluarga Arifin yang menyuntingnya. Pada akhir ceritnya, Zainab dan Hamid meninggal dengan memendam cinta, cerita ditutup dengan kesimpulan bak kasih tak sampai, “jikalau di dunia ini kita tidak bisa bersatu maka diakheratlah tempat yang kekal.”
Dari cerita dua roman itu adalah bentuk sastra, kisah itu diramu dari fakta yang dibalut metafora. Setting saat ditulisnya novel itu pada zaman pergerakan nasional. Pada zaman itu muncul berbagai macam gerakan dan partai-partai beserta sampan-sempalannya. Ideologi menjadi adalah isu yang terus meruncing antar kalangan, bahkan sampai terjadi perpecahan antar golongan hanya karena ideology. Seperti halnya PKI yang menyempal dari organisasi induknya. PKI yang pada awalnya diisi oleh orang-orang Syarekat Islam, terjadi dualisme untuk meramu ideology komunis dan islam menjadi satu kesatuan atas dasar musuh bersama yaitu kapitalisme dan kolonialisme.
Tjipto Mangunkusumo akhirnya keluar dari organisasi Boedi Oetomo dan diikuti oleh beberapa rekannya yang lain karena organisasi itu dianggap tidak mewakili pemikirannya (ideology). Konon Boedi Oetomo adalah perkumpulan sekterian khusus untuk orang jawa dan ningrat. cita-cita organisasi ini adalah untuk mendirikan Negara di Pulau Jawa dengan falsafah Jawa sebagai ideologinya.
Lain padang lain belalang,
Lain lubuk lain pula ikannya.
Berbeda jauh dengan sastra dan realita pada awal abad XX, sastra abad XXI lahir menjadi sastra yang realistis.  Tawakal dan berserah diri kepada Sang Khalik menjadi ciri dari tokoh dalam novel percintaan abad millennium.
Mengacu pada tokoh Nurul dalm novel Ayat-Ayat Cinta yang begitu terpuruk karena Fahri yang begitu ia cintai diketahuinya menikahi gadis lain. Hancur dan remuk redam begitu yang dirasakan Nurul ketika itu, tetapi itu tidaklah berlangsung lama, kesedihannya terobati dan cintanya kepadanya dengan mudah berpaling kepada tokoh Khalid yang akhirnya menjadi suaminya.
Senada pula dengan Tokoh Azzam dalam novel Ketika Cinta Bertasbih. Diawal cerita mencintai Anna, dan Anna diketahuinya adalah calon istri sahabatnya, Furqon maka dengan ikhlas Azzam mengubur cintanya pada Anna dan mendoakan agar Anna dan Furqon bahagia atas pernikahannya. Tetapi takdir menghendaki lain, diakhir cerita Anna dan Azzam akhirnya menikaha setelah Furqon menceraikan Anna.
Cerita Anna, Azzam dan Furqon bisa kita sebut sebagai kisah Siti Nurbaya abad modern antara Siti Nurbaya, Syamsul Bahri dan Datuk Maringgih, yang membedakannya adalah Syamsul Bahri dan Khairul Azzam memiliki pandangan yang berbeda tentang hidup.
Dari cerita dua novel itu adalah bentuk dari sastra, kisah itu diramu dari fakta yang dibalut metafora untuk memotret realita hidup dimana kisah itu ditulis. Mengutip perkataan Anis Matta, “Sekarang adalah masa untuk berkerja, masalah ideology sudah selesai dibahas pada jaman Imam Hasan al-Banna oleh ulama-ulama pendahulu kita.”
Berbicara masalah ideology rasanya tidak relevan lagi dimasa sekarang yang terpenting adalah pengejawantahan dari teori yang sudah ada. Hasil adalah tujuan utama, seperti halnya Nurul yang memutuskan untuk menikah dengan Khalid dan melupakan Fahri adalah sebuah langkah yang pragmatis, menikah dengan siapa itu bukan perkara asal tujuannya sama yaitu untuk Allah SWT.
Apapun ideology itu asalkan bisa membuat Indonesia sejahtera, itulah yang diutamakan untuk melawan arus globalisasi yang menuntut kita lebih fleksibel dalam setiap kebijakan.

Read More......

Sabtu, 31 Maret 2012

ISLAM MENCINTAI PERANG BUKAN CINTA DAMAI?

Islam mendefiniskan perang adalah ekspansi tidak kenal batas wilayah geografi yang menghambat dakwah Islam melalui jihad (perang) fisabilillah menegakkan kalimat “La illaha illallah” di bumi Allah. Dijaman kejayaan kekhalifahan Islam tidak dikenal dualisme antara perang dan damai, dengan kata lain kata damai tidak ada dalam kamus kaum muslimin, hanya satu azaz yaitu perang. Damai hanya istilah sempit untuk mengungkapkan suatu keadaan sebelum atau sesudah perang.
Pada zaman Khalifah Umar bin Khaththab, beliau Ra melakukan revolusi demografi, yaitu pemisahan antara sipil dan militer. Tentara muslim yang masuk militer digaji baitul maal, tapi ada juga tentara dari sipil yang ikut berperang untuk menggugurkan kewajibannya atas Jihad. Pemisahan ini tidak ada dijaman sebelumnya, bahkan dimasa Rasulullah SAW masih diberlakukan sipil bisa dikondisikan menjadi militer dan militer adalah sipil. Sejalan dengan sirah sahabat, alkisah Abdurrahman bin Auf hanya bisa ditemui di tiga tempat yaitu di masjid, di pasar dan di medan perang. Dan perang dijaman Rasulullah SAW dibiayai oleh beberapa orang sahabat Ra.
Suatu ketika dimasa pemerintahannya, Umar bin Khaththab bertanya kepada putrinya sekaligus istri Rasulullah SAW, Hafsah binti Umar. “Berapa lama batas seorang istri menahan rindu menanti suaminya?” dan dijawab Hafsah, “empat bulan”. Berdasrkan pendapat Ummul Mukninin itulah, Umar melakukan rotasi pasukan, setiap tiga bulan sekali tentara Allah itu dipulangkan untuk bertemu keluarganya, kemudian memakai kembali seragam militernya ketika panggian jihad datang kepadanya. Lain halnya dengan tentara yang berasal dari kalangan Sipil, setelah tunai kewajibanya berjihad, mereka kembali menjadi warga sipil biasa, melanjutkan profesi semula.
Berdasarkan penjelasan diatas, sesungguhnya tidak ada masa damai didalam sejarah Islam. Kaum muslimin selalu berperang melawan ketidakadilan dimuka bumi ini.

Read More......

PERANG

Perang adalah instrument politik. Perang juga tidak bisa dilepaskan dari asas hidup manusia. Insting makhluk yang bernyawa adalah bertahan hidup dan menjaga eksistensinya, keduanya dekat dengan yang namanya perang.
Pada zaman patriarki, ada tiga romantika penyulut bara peperangan antar kaum, harta, tahta dan wanita. Harta dan tahta adalah tujuan dari nafsu manusia untuk hidup, begitu pula dengan wanita .
Jadi perang bukan saja instrument politik tetapi murni sebagai instrument diri sebagai manusia. Dalam kajian syariah, perang (jihad) adalah wajib hukumnya bagi setiap muslim, dan itu jihad perang selalu diikuti oleh jihad harta.
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS AL BAQARAH:216)
Perang tidaklah buruk, perang tidak bisa dicap sebagai kejahatan yang kejam, karena perang hanyalah instrument (alat) dan alat itu ibarat pedang yang bergantung pada siapa yang menghunuskannya, mau dipakai membunuh musuh atau mengiris bawang. Jika perang dikatakan busuk, yang busuk adalah manusia yang menjalankannya, demikian sebaliknya. Sama halnya dengan politik, banyak orang bilang politik itu kotor, tetapi tidak demikian kita mendudukan dikotomi antara perang dan politik. Bila politik itu kotor, mereka yang kotor adalah orang-orang yang berpolitik, sedangkan politik sebagai alat tidak semudah itu dinodai hingga merubah makna, maksud dan tujuan dari politik.
Paradigma negatif tentang perang kita dapatkan dari stigma barat. Kita menilai perang karena berkaca pada sejarah peperangan bar-bar dan tidak berprikemanusiaan yang pelakunya adalah Negara-negara barat. Perang Nafoleon, perang dunia I, Perang Dunia II, Perang Vietnam, semuanya memakan korban jiwa yang luar biasa banyak, mereka memberikan terror kepada warga sipil. Bukan hanya itu, salah satu efek pascaperang yang dilancarkan barat adalah kemiskinan, kelaparan dan hutang besar yang harus ditanggung oleh Negara-negara yang bertikai bahkan negara sekitarnya juga tak luput kena imbasnya.
Seharusnya kita membuka kembali sejarah perang yang dilakukan kaum muslimin, sejarah perang yang dilakukan Rasulullah SAW dan para sahabat. Pada zaman sepuluh tahun kekuasan Khalifah Umar bin Khaththab Ra terjadi perang besar yang berkepanjangan sampai masa Khalifah Usman bin Affan Ra. Pasukan muslim saat itu menguasai sepertiga dari dunia, kekaisaran Romawi Timur, Bizantium hancur dan Persia berhasil direbut. Apakah Kekhalifahan Umar bin Khaththab menanggung hutang besar akibat perang?  Apakah masyarakat ketika itu hidup menderita akibat ekspansi pasukan muslim? Sejarah tidak mencatat adanya "bencana" di negeri-negeri yang telah dibebaskan oleh para mujahidin tersebut, bahkan itu menjadi rahmah bagi mereka karena lepas dari kekejaman penjajahan negara-negara adidaya ketika itu. 
Dan satu hal yang mencengangkan bahwa Khulafaur Rasyidin kedua itu tidak meninggalkan hutang sedikitpun ketika menyerahkan tampuk kekuasaan ke Usman bin Affan menggantikan dirinya menjadi Amirul Mukminin, kita tahu bahwa perang pasti menguras biasa yang luar biasa besarnya.
Lain halnya dengan Amerika dan sekutu dalam perang Afghanistan dan Iraq (2001 - ?). sepuluh tahun berperang, Amerika Serikat menanggung hutang yang besar dan Negara sekutunya di Eropa terkena krisis ekonomi, demikian pula dengan Negara yang diserang, mereka menderita kerugian moril dan materiil.
Inilah perbedaan perang muslim dan kafir. Apakah kita tetap menilai perang dari kacamata barat?

Read More......