Minggu, 20 November 2011

neo-kolonialisme DIAWALI DARI POLITIK ETIS

Perusakan karakter bangsa melalui pendidikan ala barat menjadi senjata ampuh yang melenggangkan penjajahan Belanda hingga sekarang. Belanda terusir paksa untuk angkat kaki dari Indonesia 69 tahun yang lalu, tetapi “puing-puing” penjajahan yang ditinggalkan Belanda sejak bangunan kolonialisme berdiri megah di Indonesia.
Pelaksanaan politik etis adalah upaya untuk mempertahankan penjajahan. Mereka beranggapan bahwa jika Indonesia merdeka, mereka akan kehilangan segalanya. Indonesia, negeri yang kaya raya dibuat menjadi bangsa pengemis (Pramoedya Ananta Toer).
Noe-kolonialisme begitu mudah masuk melalui pintu gerbang yang bernama pendidikan. Rakyat dididik ala barat, sudah barang tentu kurikumnya telah dirancang sedemikian rupa untuk menghindari masyarakat menjadi “pintar”.
Perang Diponegoro atau Java Oorlog (1825 – 1830) menjadi trauma tersendiri bagi Belanda, perang lima tahun itu membuar nafas pemerintahan di Amsterdam menjadi kembang kempis, Negara harus menanggung hutang yang besar atas kerugian akibat perang jawa itu. Inilah ketakutan Belanda jika saja terus-terusan rakyat Indonesia didik oleh ulama-ulama Islam. Bisa jadi suatu saat nanti jika Indonesia merdeka, bangsa ini akan menyerupai Kesultanan Aceh Darussalam dan Kesultanan Demak abad ini.
Politik etis yang dicanangkan Belanda sebagai balas budi atas “kebaikan” Indonesia. Slogan balas budi dalam politik etis hanyalah pemanis bibir agar dagangan belanda laris dan dibeli masyarakat Hindia Belanda.  Politik ini pada akhirnya membuahkan pergerakan nasional, menjadi tonggak sejarah musim semi kebangkitan nasional. Namun efek yang jelas terlihat adalah upaya terselubung untuk menekan kelompok islam (Sarekat Islam). Belanda membangun sekolah-sekolah di Indonesia dan mendidik bangsa ini adalah untuk mencekokkan ideologi-ideologi seperti nasionalisme, komunisme, sosialisme, teosofi, kejawen dll, kemudian ideologi tersebut dibenturkan dengan Islam dan ulamanya.
 Ketauladanan Rasulullah SAW pada masa pergerakan nasional digerus habis, Belanda ingin menggantinya dengan Karl Max (Bapak komunis), Jhon Locke (pencetus ide demokrasi modern) dan Adam Smith (pendiri kapitalis).
Sejatinya kebijakan politik etis pemerintah kolonial Belanda memang untuk menjauhkan ummat Islam di Indonesia dari Rasul-Nya, bukan sebagai balas budi seperti yang tertera dalam buku Sejarah Nasional Indonesia
Misi terselubung dari pengggelontoran politik etis oleh pemerintah kolonial menurut Ahmad Mansyur Surya Negara dalam buku “Api Sejarah” (2009) adalah:
1.      Melumpuhkan ulama melalui politik etis dengan mengganti pola pendidikan pesantren.
2.      Pendangkalan ajaran agama dan perusakan budaya 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar